-->




Gerakan Politik Perempuan dan Feminisme Menuju Pemilu 2024

28 Maret, 2023, 20.25 WIB Last Updated 2023-03-28T13:25:13Z
GERAKAN politik perempuan di Indonesia telah ada sejak masa kolonial Belanda, ketika perempuan Indonesia memperjuangkan hak suara dan partisipasi politik yang lebih luas. Namun, gerakan politik perempuan baru mulai mengemuka secara signifikan pada era reformasi, yaitu pada akhir 1990-an dan awal 2000-an.

Ketika gerakan-gerakan perempuan semakin aktif memperjuangkan hak-hak mereka dan menuntut partisipasi yang lebih besar dalam politik gerakan politik perempuan yang ada di Indonesia salah satunya gerakan feminisme. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Gerakan feminisme di Indonesia berupaya mengubah pandangan tradisional dan stereotip tentang perempuan, serta mengadvokasi kebijakan yang lebih ramah perempuan.

Sebagai sebuah gerakan sosial dan politik, feminisme memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi pemilihan umum 2024. Gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender, kebebasan, dan hak-hak perempuan, dan dalam konteks pemilihan umum, gerakan ini dapat mempengaruhi cara pandang dan keputusan pemilih, serta agenda dan kebijakan para calon pemimpin. Beberapa isu feminisme yang mungkin menjadi perhatian dalam pemilu 2024 seperti kesetaraan gender, kekerasan terhadap perempuan dan kesetaraan ekonomi.

Gerakan perempuan dalam politik hanya berfokus pada peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon atau anggota parlemen. Gerakan ini mencoba meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perempuan dalam politik, serta mengadvokasi kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perempuan.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Kita ketahui bahwa di Indonesia sendiri ada yang namanya kebijakan affirmative action yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan publik. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam undang-undang tersebut, ditetapkan bahwa setiap partai politik harus mencalonkan minimal 30 persen kandidat perempuan dari total jumlah kandidat yang diusung dalam pemilihan legislatif.

Kebijakan kuota 30 persen ini diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam politik dan publik, serta meningkatkan representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan pemerintahan. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan, seperti minimnya jumlah perempuan yang memenuhi kriteria untuk menjadi calon legislatif, kurangnya dukungan dari partai politik terhadap kandidat perempuan, serta minimnya dukungan dari masyarakat terhadap kandidat perempuan.

Meski demikian, kebijakan kuota 30 persen untuk perempuan telah memberikan dampak positif bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia. Pada Pemilu 2019, jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen meningkat dari sebelumnya, meskipun masih belum mencapai target 30 persen. Selain itu, kebijakan ini juga mendorong perubahan sosial dan budaya yang lebih inklusif terhadap perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia. Memasuki pemilu 2024 maka sangat diharapkan pemerintah dan seluruh lapisan institusi di Indonesia baik lembaga pemerintah atau non-pemerintah mulai sadar dan mendorong adanya keterwakilan perempuan dalam kontestasi politik. Hal tersebut tidak hanya berupa sosialisasi namun juga berupa pendidikan politik yang berkelanjutan, dalam hal ini tidak mengartikan politik sebagai hegemoni kekuasaan partai saja.

Pendidikan politik berkelanjutan dalam setiap institusi, memang terlihat begitu utopis, mengingat lingkungan institusi Indonesia yang masih begitu patriarkis, akan tetapi hal tersebut bisa diupayakan melalui berbagai macam cara, seperti kerja sama antara akademisi yang memiliki perspektif pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik dan lembaga non-pemerintah untuk terus menyuarakan politik berkelanjutan, sehingga nantinya saat tahun pemilu tiba, semakin banyak perempuan yang sadar dan mendukung sesama perempuan yang ingin berkontestasi di pemilu 2024 nanti.

Penulis: Eva Hariyati (Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam Negeri Ar-Raniry)
Komentar

Tampilkan

Terkini