BARAT SELATAN ACEH – sering disebut Barsela – lama terbelenggu dalam ketertinggalan ekonomi meskipun kaya sumber daya. Kawasan pesisir ini mencakup delapan kabupaten/kota, dari Aceh Jaya hingga Aceh Singkil, dengan populasi agraris yang besar. Namun, Barsela kerap merasa “dianaktirikan” dalam pembangunan Aceh. Kini, terpilihnya Presiden Prabowo Subianto dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) membawa harapan baru. Warga berharap kepemimpinan ini mampu mengakhiri ketertinggalan Barsela dan mendorong kebangkitan ekonomi yang merata hingga pelosok desa.
Sebagai kawasan yang pernah termarginalkan, Barsela menyimpan potensi besar yang belum tergarap optimal. Dalam naskah opini ini kita akan menyoroti potensi dan kondisi sektor pertanian serta perkebunan di Barsela, permasalahan yang selama ini menghambat, strategi dan solusi melalui kebijakan Presiden Prabowo dan Gubernur Mualem, serta peran kolaboratif pemerintah, masyarakat, dan pengusaha untuk merealisasikan perubahan. Narasi disajikan secara provokatif dan menyentuh realitas lokal, agar pesan pembangunan ini menggugah semua pihak di Aceh Barat Selatan.
* Potensi dan Kondisi Pertanian dan Perkebunan di Barsela
Seorang petani nilam di Aceh Barat tengah memanen daun nilam (Pogostemon cablin). Nilam adalah salah satu komoditas unggulan Barsela dengan nilai jual tinggi; harga minyak nilam Aceh sempat melesat dari Rp 500 ribu menjadi Rp1,8 juta per kilogram seiring meningkatnya permintaan ekspor. Potensi tanaman atsiri ini mendorong minat banyak petani lokal untuk membudidayakannya. Kawasan Barsela sebenarnya ibarat lumbung kekayaan alam.
Hampir setiap kabupaten memiliki komoditas pertanian dan perkebunan unggulan. Di Aceh Jaya melimpah kebun nilam dan kelapa sawit; Aceh Selatan tersohor sebagai “negeri pala” penghasil pala (buah nutmeg) berkualitas; Simeulue dan sekitarnya menghasilkan cengkeh, serta hasil perkebunan lain. Lahan pertanian pangan juga tersebar luas – Abdya (Aceh Barat Daya), misalnya, dijuluki “Tanoh Breuh Sigeupai” karena areal persawahan padinya yang subur hingga surplus beras. Dari sawah, ladang nilam, kebun sawit hingga tanaman rempah, Barat Selatan Aceh kaya akan sumber hayati yang beragam.
Tidak hanya daratan, garis pantai Barsela yang panjang menyimpan potensi perikanan laut yang melimpah. Kombinasi pertanian, perkebunan, dan perikanan menjadikan kawasan ini kandidat kuat lumbung pangan dan komoditas ekspor Aceh. Jika dikelola terpadu dari hulu ke hilir, kekayaan ini diyakini bisa memberi nilai tambah besar bagi ekonomi daerah. Beberapa infrastruktur pendukung mulai tersedia: Pelabuhan Calang di Aceh Jaya, misalnya, telah dibangun dan bahkan pernah dipakai mengekspor minyak sawit mentah langsung ke India. Demikian pula Pelabuhan Teluk Surin di Abdya tengah dirintis sebagai kawasan industri terpadu untuk memecah kebuntuan akses ekonomi Barsela yang selama ini harus mengandalkan pelabuhan luar daerah. Kondisi terkini menunjukkan adanya upaya membuka isolasi Barsela, namun potensi penuh wilayah ini masih menanti sentuhan kebijakan yang serius agar kekayaan alam tidak lagi sekadar menjadi potensi di atas kertas.
* Permasalahan yang Dihadapi Sektor Ini
Meski alamnya kaya, sektor pertanian dan perkebunan Barsela menghadapi tantangan nyata di lapangan. Sejumlah permasalahan struktural telah lama menghambat kemajuan sektor ini:
1. Infrastruktur Minim: Jalan rusak, transportasi terbatas, dan listrik belum merata menjadi keluhan utama petani. Hasil panen dari pedalaman Aceh Barat Daya atau Simeulue kerap sulit dipasarkan cepat karena akses jalan dan pelabuhan yang kurang memadai. Contohnya, di Simeulue dan Singkil distribusi hasil bumi lambat dan mahal akibat transportasi laut yang belum optimal. Infrastruktur dasar yang tertinggal membuat biaya logistik tinggi dan daya saing produk pertanian menurun.
2. Teknologi & Modal Terbatas: Pertanian Barsela masih didominasi cara tradisional skala kecil. Minimnya adopsi teknologi modern dan sulitnya akses permodalan membuat produktivitas lahan rendah. Banyak petani masih mengandalkan cangkul daripada traktor, mengakibatkan hasil panen kurang optimal. Diversifikasi usaha tani juga minim; ketergantungan pada komoditas tunggal membuat petani rentan saat harga jatuh. Sebagai contoh, anjloknya harga TBS kelapa sawit atau gabah akan langsung memukul pendapatan karena petani tak punya alternatif sumber penghasilan.
3. Kurangnya Investasi & Hilirisasi: Investasi dari pemerintah maupun swasta di sektor agro Barsela masih sangat terbatas. Akibatnya, industri pengolahan hasil pertanian hampir tidak ada di daerah – sawit dijual mentah keluar, nilam diekspor dalam bentuk minyak atsiri tanpa pengolahan lanjutan, dan beras hanya diproduksi sebagai gabah kering. Minimnya pabrik atau industri hilir berarti sedikit lapangan kerja lokal tercipta. Banyak pemuda akhirnya merantau keluar daerah atau ke Malaysia demi mencari nafkah. Tingkat pengangguran tinggi dan pendapatan per kapita rendah menjadi ironi di tengah hamparan lahan subur Barsela.
Masalah-masalah di atas saling berkaitan, memperangkap sektor pertanian-perkebunan Barsela dalam lingkaran stagnasi. Padahal, pemerintah Aceh dan pusat sudah pernah menggelontorkan berbagai program – dari pembangunan jalan hingga bantuan modal usaha – tetapi hasilnya dinilai belum cukup. Diperlukan gebrakan yang lebih terpadu untuk memutus kebuntuan ini. Di sinilah kebijakan dan perhatian dari pucuk pimpinan nasional dan daerah sangat dinanti.
* Strategi dan Solusi melalui Kebijakan Presiden Prabowo dan Gubernur Aceh Mualem
Angin perubahan mulai berembus. Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmen kuat pada kemandirian pangan dan nasib petani – sebuah kabar baik bagi Barsela yang agraris. Dalam beberapa bulan awal pemerintahannya, Presiden Prabowo meluncurkan kebijakan pro-petani yang inklusif.
Contohnya, pemerintah pusat kini menetapkan harga pembelian gabah (HPP) sebesar Rp6.500 per kg, sehingga petani padi mendapat kepastian harga layak. Selain itu, distribusi pupuk subsidi dibuat lebih tepat sasaran langsung ke tangan petani, dan alat mesin pertanian (traktor, combine harvester, dsb) dibagikan untuk meningkatkan produktivitas.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Langkah-langkah konkret ini disambut positif di daerah; sejumlah gubernur – termasuk Gubernur Aceh Muzakir Manaf – mengapresiasi kebijakan baru yang menguntungkan petani tersebut. Kebijakan nasional yang berpihak pada petani inilah yang diyakini Prabowo sebagai kunci menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia, asalkan dijalankan secara inklusif hingga level akar rumput.
Dari sisi Aceh, Gubernur Mualem sigap menyambut arahan pusat dengan strategi daerah yang selaras. Dalam panen raya serentak baru-baru ini, Mualem melaporkan langsung kepada Presiden tentang kebutuhan Aceh untuk mendongkrak produksi pangan. Ia menyebut perlunya pembangunan jaringan irigasi di lahan-lahan tadah hujan, penambahan pupuk serta alat panen modern bagi petani Aceh. Ini sangat relevan bagi Barsela, di mana banyak sawah bergantung hujan dan membutuhkan saluran irigasi baru. Pemerintah Aceh di bawah Mualem menargetkan produksi gabah naik dari 1,4 juta ton (2024) menjadi 1,6 juta ton pada 2025 – ambisi yang mustahil tercapai tanpa perbaikan sarana pertanian di daerah basis produksi seperti Barsela.
Selain fokus pangan, pembangunan infrastruktur ekonomi Barsela kini digenjot dengan dukungan pusat. Presiden Prabowo berulang kali menegaskan Aceh perlu perhatian lebih, dan Mualem menindaklanjuti “hutang perhatian” itu dengan lobi aktif.
Terbitnya Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan Aceh (termasuk Barsela) memberikan landasan kuat. Gubernur Mualem bergerak cepat menemui Menteri PUPR di Jakarta untuk memastikan proyek-proyek strategis Aceh diprioritaskan. Hasilnya, ada semangat baru di kementerian untuk menyokong Aceh: Menteri PUPR bahkan menyatakan komitmen pusat dan kebanggaannya bisa kembali terlibat membangun Aceh pascatsunami, seraya mengenang bahwa Aceh memang membutuhkan perhatian khusus.
Ini indikasi positif bahwa jalan lintas antar-kabupaten di Barsela akan dipercepat penyelesaiannya, jembatan dan pelabuhan vital akan didukung pendanaannya, serta inisiatif lokal seperti KEK Teluk Surin mendapat dukungan regulasi. Faktanya, forum delapan bupati Barsela telah menyepakati pembentukan koridor ekonomi Barsela dan mendorong Kawasan Ekonomi Khusus berbasis potensi unggulan tiap daerah (seperti KEK Teluk Surin di Abdya untuk agroindustri) Kolaborasi pusat-daerah semacam ini menjadi strategi kunci untuk membuka keterisolasian Barsela.
Tak kalah penting, penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat masuk dalam agenda solusi. Mualem menekankan pendekatan holistik: infrastruktur dibangun, sektor unggulan (pala, nilam, sawit, padi) diperkuat, sekaligus masyarakat petani diberdayakan. Program pelatihan, pendampingan penyuluh, hingga pembentukan BUMG (Badan Usaha Milik Gampong) atau koperasi tani digalakkan agar petani kecil bisa bersatu dan naik skala usaha.
Dengan dukungan kebijakan Presiden di level makro dan eksekusi Gubernur di level mikro, diharapkan kebangkitan pertanian dan perkebunan Barsela bukan lagi wacana utopis belaka, melainkan agenda nyata yang mulai terealisasi di lapangan.
* Peran Pemerintah, Masyarakat, dan Pengusaha dalam Menindaklanjuti Kebijakan
Kebijakan hebat tidak akan berdampak tanpa sinergi tiga pilar: pemerintah, masyarakat, dan kalangan pengusaha. Semua pihak punya peran krusial untuk memastikan strategi di atas benar-benar membumi di Barsela.
1. Pemerintah (Pusat & Daerah): Pemerintah wajib menjadi enabler sekaligus pengawas. Artinya, setelah mengeluarkan kebijakan, perlu pendampingan dan kontrol pelaksanaan hingga ke desa. Pemprov Aceh harus cekatan menyusun program turunan—misal, membangun saluran irigasi baru di Aceh Selatan dengan dana otonomi khusus terakhir, mempermudah perizinan investasi pabrik pengolahan di Abdya, atau mempercepat operasional Pelabuhan Surin. Pemkab/Pemko Barsela perlu aktif mengidentifikasi kebutuhan spesifik petani di wilayahnya dan melapor berjenjang (seperti yang dilakukan Mualem dalam panen raya virtual dengan Presiden). Pemerintah juga bertanggung jawab menjaga stabilitas keamanan dan regulasi kondusif agar investor tidak ragu masuk Barsela. Intinya, pemerintah harus hadir dari hulu ke hilir: menyediakan infrastruktur dan sarana produksi, memberi penyuluhan ilmu pertanian modern, hingga menjamin pasar bagi produk lokal (misal melalui BUMN Pangan atau Bulog menyerap beras petani Barsela). Dengan dukungan penuh aparatur, kebijakan Prabowo-Mualem tidak akan berhenti sebagai dokumen, tapi terwujud dalam geliat ekonomi di kebun dan sawah.
2. Masyarakat dan Petani: Masyarakat lokal adalah subjek sekaligus objek pembangunan. Petani Barsela perlu bersikap proaktif menerima inovasi. Pola pikir tradisional pelan-pelan harus berubah: jika ada bantuan traktor, manfaatkan untuk perluas garapan; jika ada bibit unggul atau teknik tanam baru, jangan ragu mencoba. Para petani bisa membentuk kelompok tani atau koperasi agar lebih kuat dalam hal permodalan dan pemasaran. Peran tokoh pemuda juga vital – seperti Syarbaini dari Kluet Utara yang vokal menyuarakan aspirasi Barsela – pemuda dapat menjadi motor penggerak di gampong untuk mengawal pembangunan. Masyarakat diharapkan aktif memberikan masukan dan mengawasi proyek pemerintah. Seperti disampaikan Koordinator komunitas MUSI Abdya, pengawasan dan masukan konstruktif dari masyarakat penting agar proyek seperti Pelabuhan Teluk Surin berjalan sesuai harapan rakyat. Sikap gotong royong dan ownership dari warga akan memastikan setiap program dilaksanakan tepat sasaran. Jika petani, nelayan, dan pekebun Barsela mau berbenah dan menyambut baik bantuan, setengah dari perjuangan sudah dimenangkan.
3. Pengusaha dan Investor: Peran kalangan usaha tak kalah penting sebagai penggerak roda ekonomi. Pengusaha lokal Barsela maupun investor luar perlu menangkap peluang yang terbuka. Kebijakan pemerintah yang memberi insentif harus direspons dengan investasi nyata di sektor hilir. Misalnya, perusahaan dapat membangun pabrik pengolahan minyak nilam di Aceh Jaya agar komoditas nilam tidak lagi dijual mentah, atau mendirikan pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng di Nagan Raya sehingga nilai tambah tinggal di daerah. Para pengusaha besar perkebunan sawit yang sudah beroperasi di Barsela hendaknya bermitra dengan petani kecil lewat pola plasma, membantu peningkatan kualitas, dan menyalurkan CSR untuk perbaikan jalan desa atau fasilitas pertanian. Iklim investasi Aceh yang kondusif di era Prabowo-Mualem – ditandai dengan penyederhanaan birokrasi dan jaminan keamanan – perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan investor asing pun mulai dilirik, contohnya Dubes Uni Emirat Arab sudah diajak berdiskusi tentang peluang investasi Aceh. Dengan kolaborasi pemerintah yang memfasilitasi, masyarakat yang berdaya, dan pengusaha yang berinvestasi, sebuah kolaborasi tiga pilar terbentuk untuk memajukan Barsela. Kolaborasi semacam ini memang mutlak diperlukan demi percepatan pembangunan ekonomi di Barsela.
Sinergi adalah kata kunci. Syarbaini menegaskan perlunya sinergi kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Barsela. Masing-masing elemen saling melengkapi: pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan penyedia fasilitasi, masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, dan pengusaha sebagai motor penggerak investasi. Apabila ketiganya bergerak seiring, kebijakan Presiden Prabowo dan Gubernur Mualem yang telah dicanangkan akan menemukan jalannya di bumi Barsela. Harapan yang dulu hanya terucap – agar Barsela tidak lagi dianaktirikan – kini berada di ambang kenyataan. Dengan kerja sama semua pihak, “negeri pala dan nilam” di Barat Selatan Aceh ini berpeluang mengejar ketertinggalan dan menjelma menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi baru di Aceh. Pemerataan pembangunan bukan lagi mimpi: saatnya Barsela bangkit menjadi bukti.
Penulis: Mayjend (Purn) TNI T.A. Hafil Fuddin (Mantan Pangdam Iskandar Muda)