-->

Tambang, Politik, dan Nasib Rakyat

12 Mei, 2025, 14.47 WIB Last Updated 2025-05-12T07:47:28Z
GEMURUH ALAT BERAT dan iring-iringan truk pengangkut hasil tambang seringkali diasosiasikan dengan geliat ekonom. Namun di  baliknya, terselip kepentingan politik yang kerap luput dari perhatian publik. Industri pertambangan di Aceh bukan hanya menyimpan potensi ekonomi, tetapi juga persoalan sosial-politiknya yang mencerminkan bagaimana intervensi politik dapat menentukan nasib rakyat di wilayah yang kaya akan sumber daya alam.

Aceh, merupakan salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alamnya namun mereka masih miskin dalam tata kelola dan distribusi manfaatnya. Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufiq mengatakan, Hingga triwulan II tahun 2024, sektor pertambangan di Aceh menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp225,075 miliar, terdiri dari iuran tetap Rp5,496 miliar dan royalti Rp219,579 miliar. Namun sebagian besarnya angka tersebut tidak serta merta mencerminkan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.

Di beberapa wilayah Aceh, meskipun aktivitas pertambangannya dilakukan secara legal sekalipun terkadang masih saja menimbulkan berbagai persoalan seperti, pencemaran lingkungan, konflik sosial, sampai ketimpangan ekonomi antara masyarakat lokal dan elit pengelola. Umpamanya, Di atas kertas, tambang memberi pekerjaan dan pemasukan. Namun di lapangan, air sungai tercemar, sawah gagal panen, rusaknya akses jalan, dan sebagainya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 mengenai distribusi dana PNBP, kabupaten/kota penghasil tambang mendapat porsi 50% dari iuran tetap dan 32% dari royalti. Provinsi dan pemerintah pusat hanya mendapat sebagian kecil. Artinya, tanggung jawab penggunaan dana untuk kesejahteraan dan pemulihan lingkungan sebagian besar berada di tangan pemerintah kabupaten/kota penghasil.

Sayangnya, transparansi dan akuntabilitas atas penggunaan dana tersebut masih menjadi ganda tanya. Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufiq, bahkan mendorong anggota DPRK untuk aktif mempertanyakan penggunaan dana tambang terutama untuk pembinaan lingkungan dan penanganan dampak kesehatan masyarakat di sekitar tambang.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Dan tentu saja masalah yang muncul tidak hanya mengenai tambang ilegal yang masih marak di Aceh, tapi juga masalah lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menunjukkan luas tambang tanpa izin mencapai 6000 hektar di tahun 2024, dengan sebagian besar berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Aktivitas ini tidak hanya merusak hutan lindung dan habitat satwa tapi juga mencemari air dan tanah serta membahayakan rantai makanan.

Intervensi politik dalam sektor ini kerap menjadi penghalang reformasi. Tak ada yang benar-benar netral. David Easton, salah satu ilmuwan politik, menjelaskan bahwa sistem politik seharusnya berjalan dalam siklus input-proses-output-feedback. Ketika masyarakat menyuarakan keresahan terhadap pencemaran tambang, seharusnya sistem politik menyerap suara itu dan mengolahnya menjadi kebijakan yang adil dan solutif. Namun pada kenyataannya, dalam banyak kasus, suara itu malah berhenti di tengah jalan atau bahkan dibungkam oleh aktor-aktor yang punya kuasa lebih besar.

Sementara itu, kita juga perlu mengingat pendapat filsuf politik Theodore M. Benditt yang menekankan pentingnya membedakan antara kepentingan subjektif (tuntutan atau keinginan kelompok tertentu) dan kepentingan objektif (kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang). Pemerintah dan perusahaan bisa saja mengklaim tambang sebagai kepentingan objektif demi pembangunan daerah. Tapi apakah pembangunan itu benar-benar menyejahterakan masyarakat di lingkar tambang? Ataukah sekadar menguntungkan elit tertentu yang punya akses ke kekuasaan?

Opini ini tidak bertujuan menolak investasi atau menutup potensi ekonomi daerah. Tapi kita perlu jujur melihat bahwa tanpa sistem politik yang responsif, dan tanpa kesadaran untuk menyeimbangkan kekuasaan, maka tambang hanya akan menjadi berkah semu—yang menguntungkan segelintir, dan menyengsarakan banyak pihak. Aceh punya potensi menjadi contoh daerah dengan tambang berkelanjutan, jika pemerintah, swasta, dan masyarakat benar benar berkomitmen menjalankan tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab.

Sudah saatnya kita tidak hanya bicara tentang “izin usaha” dan “nilai investasi”, tapi juga soal keadilan ekologis, distribusi manfaat, serta etika dalam pengambilan kebijakan publik. Sebab tambang bukan hanya soal batu dan logam, tapi juga soal hak hidup masyarakat, masa depan lingkungan, dan integritas politik lokal.

Penulis: Cut Khairi Imilda (Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala)
Komentar

Tampilkan

Terkini