-->








Pakar Hukum Pidana Tanggapi Penanganan Kasus RSUD Langsa

23 April, 2017, 00.33 WIB Last Updated 2017-04-22T17:49:37Z
LANGSA - Setelah munculnya pemberitaan tentang penanganan kasus dugaan kesalahan prosedur dalam pemusnahan obat-obatan di RSUD oleh pihak Polres Langsa beberapa hari lalu, mendapat tanggapan dari salah seorang pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Unsam.

Doktor Yusi Amdani, SH, MH saat ditemui LintasAtjeh.com, Sabtu (22/04/2017), di Langsa mengatakan bahwa pemberitaan tentang dugaan kasus pemusnahan obat di RSUD Langsa yang sudah menjadi perhatian publik dan menimbulkan berbagai persepsi dalam masyarakat Kota Langsa.


Menurut DR. Yusi, seperti apa yang telah diberitakan dimedia LintasAtjeh.com bahwa penyelidikan kasus tersebut sudah dilaksanakan sejak tanggal 28 Nopember 2016 yang lalu, dan sampai saat ini belum ada titik terang, apakah kasusnya sudah di SP3 kan atau naik kasusnya dari penyelidikan ke penyidikan.

Sambung DR. Yusi, dalam penyelidikkan perkara pidana kasus lingkungan dalam Pasal 96 UU No 32 / 2009 tentang alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup yang terdiri dari, Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa dan Alat bukti yang diatur dalam perundang undangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan huruf F meliputi informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, disimpan secara elektronik, magnetik, optik, bukti data, rekaman dapat dibaca atau didengar, tulisan gambar huruf simbol bermakna.

Ia juga menjelaskan bahwa sesuai ketentuan undang-undang proses penyelidikan dan penyidikan itu sendiri telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pasal 1 angka 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

“Dari sini, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Tetapi, penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan,” terangnya.

“Jadi, fungsi penyelidik adalah menemukan apakah atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana bisa dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik,” imbuhnya.

Oleh Karena itu, sambungnya lagi, diperlukan proses penyidikan guna mengumpulkan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana. Jika ternyata dari hasil penyidikan, penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka, maka penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan merupakan surat pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel SP3, penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf I jo dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan dilakukannya penghentian penyidikan yang terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu, a. tidak terdapat cukup bukti yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
b. peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana.

c. penyidikan dihentikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.[Sm]
Komentar

Tampilkan

Terkini