-->








Tarik Ulur RKUHP, Anda Tim yang Mana?

14 Agustus, 2018, 23.24 WIB Last Updated 2018-08-14T16:24:27Z
Penulis : Chyntia Pinky

Tahukah anda sudah berapa lama kita menunggu untuk KUHP yang baru?

Indonesia 7 kali ganti Presiden dan 13 kali ganti menteri Hukum dan HAM (dulu menteri Kehakiman), bahkan terhitung 17 anggota tim penyusunnya sudah wafat, namun KUHP baru yang kita idam-idamkan masih seperti mimpi. Prof. Barda Nawawi Arief menyebut RKUHP seperti bayi dalam kandungan yang tidak lahir-lahir, tidak pula mati-mati. Hidup segan mati tak mau. Sudah 55 Tahun masyarakat menunggu untuk lahirnya RKUHP sejak digagas dari 1963 lalu dan kita ternyata masih setia menggunakan produk Belanda.

Barangkali kita harus malu, sebab rasanya susah sekali hukum Indonesia maju dengan produknya sendiri.

Kini, menginjak 73 Tahun usia Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla percaya DPR bisa menepati janji untuk menyelesaikan RKUHP sebelum 17 Agustus mendatang. Mari bersama-sama kita lihat apakah ini hanya akan menjadi sorak-sorak bergembira menjelang peringatan hari kemerdekaan? Hm.

Di satu sisi, pembahasan RKUHP ini telah memakan waktu yang sangat lama. Ibarat nasi, sudah berulat-berbelatung!  Tetapi di sisi lain kita juga tidak bisa menutup mata jika RKUHP yang sedang dibahas ini masih ‘memeluk erat’ berbagai permasalahan. Hingga rasanya akan terlalu riskan untuk diburu-buru.

Sekurangnya ada lima permasalahan utama yang paling mendesak, yaitu:

Pertama, Kepala BPHN Prof. Enny Nurbanngsih mempersoalkan banyaknya delik-delik kontroversial dalam RKUHP. Misalnya, jenis pidana pokok dalam RKUHP diperluas sehingga kita tidak hanya akan bertemu pidana penjara dan denda saja, tapi juga akan bertemu dengan pidana kerja sosial, pengawasan, dan tutupan. Sebenarnya ini bukan perluasan melainkan cara untuk mengatasi over capacity penjara-penjara di Indonesia. Jadi sesungguhnya sama saja dipenjara, namun bukan penjara dalam artian dijeruji. Pertanyaannya adalah memangnya kita yakin menerapkan hukuman semacam ini? Mekanismenya tidak semudah menyogok aparat penegak hukum loh.

Kedua, ancaman kebebasan berekspresi masih ‘bercokol’ di RKUHP sejak diaturnya kembali pasal-pasal penghinaan. Kebebasan berekspresi warga negara terancam lantaran diaturnya pasal kejahatan keamanan perihal ideologi negara, penghinaan presiden, penghinaan/ujaran kebencian terhadap pemerintah. Ada hal yang lucu disini, MK melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 sudah menghapuskan pasal tentang kebencian terhadap pemerintah dan penghinaan presiden, kenapa harus diangkat lagi dalam RKUHP? Memangnya MK dianggap apa? Jangan sampai pasal-pasal ini nantinya digugat lagi ke MK, kan MK-nya capek mengulang-ulang kerjaan. Lagipula, jangan sampai maksudnya mengkritik kinerja Yang Mulia Pemerintah nantinya malah disuruh kerja sosial. 

Ketiga, eksistensi delik Contempt of Court yang dinilai melanggar kebebasan pers. Frasa “perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan” dalam Pasal 329 RKUHP kurang jelas maknanya. Sejauh ini, pasal tersebut masih tarik ulur karena ada pihak-pihak yang merasa kebebasan persnya akan terganggu, sedangkan dilain sisi pasal ini ‘mungkin’ mampu melindungi wibawa lembaga dan aparatur peradilan.

Keempat, nasib KPK yang di ujung tanduk gara-gara masuknya delik korupsi dalam bab RKUHP. Ini mengkhawatirkan karena dapat menghilangkan sifat khusus dari tindak pidana ini. Kalau sudah menjadi delik umum ya diurusnya bukan sama KPK lagi dong ya.

Kelima, yang paling kontroversial dan menggemparkan dunia masa kini adalah perluasan delik kesusilaan. Diantarannya perilaku seks bebas, lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) dapat dikriminalisasi. Memangnya apa kepentingan negara ikut campur urusan privat warga negaranya? Barangkali pengkajian tentang ini harus dibahas dalam artikel tersendiri. Hehe.

Jika sudah begini, anda akan masuk tim mana? Alon-alon asal kelakon (pelan-pelan asal terlaksana) atau anda bagian dari orang yang sudah menyiapkan berkas permohonan pengujian KUHP ke MK? Hehe.[Timeline]
Komentar

Tampilkan

Terkini