-->


Sesi HAM Ke 39 di Sidang Umum PBB Nyaris Sepi

10 Oktober, 2018, 14.21 WIB Last Updated 2018-10-10T07:21:55Z
PAPUA - Sungguh mengecewakan kita orang Papua bahwa kampanye perjuangan Papua Merdeka dan Hak azasi manusia serta seluruh pelanggaran HAM yang diperjuangkan melalui ULMWP atau organisasi apapun dibawah payung organisasi Papua merdeka (OPM) tidak mendapat perhatian dari sidang umum Perserikatan  bangsa-Bangsa pada tahun sidang 2018.

Seperti yang disinyalir oleh para aktifis Papua Merdeka di luar Negeri maupun di dalam Negeri pada sidang umum PBB 2018 ataupun oleh cendekiawan Politik dan pengamat politik di tanah Papua bahwa masalah perjuangan Papua akan diagendakan tahun ini di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sekaligus akan mengundang perdebatan serius di antara orang Papua dalam delegasi Indonesia dan orang Papua di delegasi Negara Vanuatu ternyata sebuah PHP (Pemberi Harapan Palsu) kepada orang Papua. Mengapa, perdebatan yang diharapkan akan banyak menyita perhatian dan argumentasi silang antar Negara-Negara anggota PBB terutama masalah Hak Azasi manusia atau Human Right. Sesi 39 tahun 2018 yang dipimpin langsung Hight Commesioner Human Right PBB (Madam Michelle Bachelet, berlangsung sangat aman dan ramai tetapi sepi. Masalah perjuangan Papua merdeka maupun masalah pelanggaran ham di tanah Papua yang di kampanyekan oleh pihak-pihak NGO dan masarakat Internasional lainnya, juga ternyata bukan agenda sidang umum PBB tahun ini

Sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah sebuah sidang tertinggi Internasional yang dilaksanakan setiap tahun di bulan September-Oktober dengan menghadirkan seluruh anggota-anggota PBB dari seluruh Dunia untuk membahas permasalahan yang dihadapi Dunia demi perdamaian dan kesejahteraan Dunia
Hal mana dalam Penyampaian pidato pengantar sesi mengenai sidang Human Right (Hak Azasi Manusia) maupun seluruh isi materi sidang yang dipimpin langsung oleh High Commissioner Madam Michelle Bachelet, sangat disayangkan bahwa tak satupu masalah Human Right di tanah Papua diagendakan maupun disinggung sedikitpun bahkan nama Papua tidak terdengar disebut dalam pidato pengantar dan seluruh pembahasan agenda sesi tersebut, padahal telah banyak masalah hak azasi yang dikategorikan Serious Crime Against Humanity seperti peristiwa Wsior, peristiwa Biak Berdarah, peristiwa Paniai (Enarotali) dan sebagainya termasuk PETISI yang ditandatangani lebih setengah juta oang Papua menurut claim KNPB/OPM.

Timbul pernyataan yang serius dimanakah masalah Papua yang disampaikan oleh para aktifis Papua Merdeka atau oleh ULMWP atau organisasi Papua Merdeka lainnya, yang selama ini menggembar-gemborkan tentang isu-isu Papua Merdeka yang menyebabkan banyak peristiwa intimidasi dan tindakan represif serta penangkapan dan pemenjaraan di dalam negeri Papua? Apakah mereka salah mengalamatkan atau salah menyerahkan naskah tesebut, atau sama sekali belum menyerahkan kepada forum PBB tersebut? Ataukah masalah-masalah Papua dan seluruh isi perjuangan Papua Merdeka telah menjadi komoditi politik untuk menghimpun dana kelompok-kelompok tertentu tersebut baik di dalam negeri dan di luar negeri.

Bagi kita di tanah Papua, apakah teriakan mereka yang hanya sebuah gema atau sebuah ilusi dari kemanusiaan yang menjerit dari kungkungan keterbqtasan dan tekanan keterbelakangan yang merindukan pembebasan dari pada merdeka fisik dalam arti negara sebuah Papua?Ataukah keterbatasan pengeahuan atau kemampuan untukmenembus tirai politik yang sudah lama meninggalkan isu merdeka tetapi mengutamakan isi survival bersama umat manusia demi menjawab tantangan zaman dan bahu-membahu menuju dunia damai aman dan Sejahtera? Sungguh, Mengecewakan dan sangat melelahkan.

Mengapa setiap tahun, selalu ada suara kicauan burung tentang Papua akan diagendakan sama seperti tahun 2018, yang dimana sidang umum PBB secara umum maupun sesi 39 khusus sidang Human Right(Hak AzasiManusia) dipimpin langsung oleh Commissioner Human Right, sangat mengecewakan kita, orang Papua, bahwa sedikitpun permasalahan Hak azasi yang kita alami, atau kerinduan perjuangan untuk merdeka, tidak mendapat perhatian oleh sidang umum PBB? Padahal dalam sambutannya, Madan Michelle Bachelet menyampaikan sejumlah deretan bangsa dan daerah di bumi yang sangat memerlukan perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa karena keadaan Human Right atau Hak Azasi Manusia yang sangat buruk. Nama Indonesia, bahkann Papua tidak disebut bahkan tidak terdaftar dalam proyek besar  penanganan HAM di PBB.

Hal ini demikian serius bukan? Pertanyaan yang patut kita Pertanyakan adalah kemanakah isu-isu HAM tanah Papua atau dimanakah tuntuan merdeka orang Papua disampaikan oleh organisasi-organisasi yang berjuang atas nama OPM, seperti UMLWP, Kobe Oser, atau oleh tuan Herman Wanggai sebagai perwakilan di PBB, atau Tuan Ben Kaisepo yang menanamkan dirinya Presiden West Melanesia yang konon kabarnya membuka kantor di PBB, sehingga dimanakaah isu-isu Papua Merdeka diperdagangkan, sementara sidang umum PBB berlangsung sepi, tanpa isu Papua Merdeka ataupun nama Papa disebut meskipun hanya satu kali.

Apapun pertayaan yang bisa orang Papua pertanyaan ataupun orang papua peroleh dari permasalahan “Mengapa masalah Papua Merdeka” tidak dibahas di sidang umum (PBB) tahunn 2018, sebaiknya sedikit kronologis dusun, agar menjadi jelas, bahwa seluruh peoses dan prodrsur yang berlaku di sidang umum PBB setiap tahun. Adalah menurut prosedur protokuler Internasional yang merupakan Prosedur standar resmi PBB, dan para peserta masing-masing anggota Delegasi negara tersebut telah terdaftar sebagai peserta sidang umum. Setiap Negara Anggota berhak atas rest to speak on the floor and right to reply dengan syarat utama tidak mengecam dan mencampuri kedaulatan masing-masing negara anggota.

Seperti halnya dengan masalah Papua Merdeka atau masalah-masalah Rights di tanah Papua, tidak mungkin disampaikan oleh NGO, persekutuan Gereja sedunia, OPM atau ULMWP, atau oleh wakil-wakil orang Papua secara perorangan atau dalam bentuk organisasi, di sidang umum PBB, karena Papua bukanlah sebuah Negara Berdaulat. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu-satunya Negara berdaulat yang berhak sebagai anggota PBB untuk menyampaikan keadaan dalam negeri Indonesia termasuk Tanah Papua dan bukan negara Vanuattu yang selama ini menjadi corong untuk menyuarakan masalah Papua Merdeka dan masalah Human Right di tanah Papua pada sidang umum PBB.

Negara Vanuattu telah mempergunakan hak right to speak on the floor yang seharusnya lebih banyak menyampaikan masalah-masalah sulit dan genting negeri dan bangsanya sendiri dan pandangan Vanuattu terhadap penanganan krisis Global dan perdamaian dunia seluruh anggota delegasi negara-negara anggota, hal mana dalam sisipan pidatonya masalah Papua hanya disampaikan secara brief tanpa sebuah mosi perdebatan atau pengambilan suara. Karena menurut sistim protokoler di sidang umum PBB, hanya Indonesia lah yang di perkenankan untuk mempergunakan right to reply untuk memberi tanggapan kepada pernyataan negara Vanuattu tentang masalah Papua.

Negara Vanuattu dalam mempergunakan hak second reply nya menyampaikan kembali dukungannya terhadap Human rights Violance di tanah Papua dan mengulangi tuntutannya kepada Pemerintah Indonesia untuk segera memberikannya dan memohon dukungan masyarakat Internasional untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk menyatakan Papua terbuka untuk menerima investigasi tentang dugaan pelanggaran hak azasi manusia. Selain itu Vanuattu juga menyampaikan pertimbangan negaranya terhadap status Papua didaftarkan dalam daerah dekolonisasi sesuai aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada tahun sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa 2018 ini, wakil Presiden Moh. Jusuf Kalla, telah berkenan menyampaikan pidatonya pada dasarnya menyampaikan komitment Republik Indonesia, selain sebagai kapasitas sebagai anggota tidak tetap Dewan keamanan, telah berkomitmen menyediakan lebih dari 4000 personel tentara perdamaian untuk membantu di seluruh pelosok bumi untuk perdamaian bumi. Hal mana pidato wakil Presiden Jusuf Kalla mendapat sambutan hangat dari delegasi negara-negara anggota PBB.

Demikian pula dalam mempergunakan hak right to second reply, Dubes Indonesia memberikan pencerahan kepada sidang umum dan secara khusus kepada delegasi Vanuattu kondisi di tanah Papua, Komitmen NKRI untuk terus membangun kedua Provinsi tertimur kepada dan masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar terutama peningkatan pendidikan dan kesehatan sesuai delapan point Millenium Goals yang ditetapkan oleh PBB.

Disimpulkan bahwa tidak ada seribu jalan ke roma, demikian pun tidak ada seribu jalan ke sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang tersedia adalah system dan prosedur protokol Internasional yang disepakati oleh negara-negara anggota dan telah diadopsi resolusinya bahwa yang berkenan hadir di sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Perwakilan sebuah Negara Merdeka Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian, biarkan kebenaran di dunia nyata yang rasional sesuai aturan-aturan main yang berlaku dari pada kita percaya halusinasi dan khayalan dunia maya dalam gerakan-gerakan mesianis yang membodohkan kita seperti Tuhan itu seseorang yang bodoh dan bisa diatur oleh kita, bangsa Indonesia khususnya Orang Papua.
Marilah kita perjuangkan hak-hak kita dalam koridor politik dan hukum Nasional dan Internasional yang resmi dalam system ketatanegaraan, melalui hukum positif yang berlaku, dan negara Republik Indonesia menjamin semua tindakan hukum tersebut menurut hukum dan hak azasi manusia yang diakui oleh dunia Internasional.

Kiranya tulisan ini dapat memberikan kecerahan kepada para pembaca, teristimewa kita yang berjuang untuk mengamati dan menyadari bahwa perjuangan Papua tidak sekedar membalik telapak tangan, tetapi sangat berhubungan dengan seluruh proses, prosedur bahkan hukum Internasional yang berlaku sah dan diadopsi bersama oleh Negara-negara anggota PBB. 

Sehubungan dengan itu, apapun usaha dan sepak terjang  politik Papua Merdeka, kita hadapi hanya satu batu sandungan terbesar dan terberat bahkan seperti jerat politik, gampang-gampang bisa, yaitu Resolusi 2504 tentang Integrasi Papua dalam Kemerdekaan Republik Indonesia yang selau dijadikan OPM sebagai alasan. Selain itu, dalam upaya memisahkan diri dari NKRI adalah usaha menjadikan lautan luas menjadi air tawar.

Penulis: John AL Norotouw
(Pengamat Masalah Sosial Politik di Papua)
Komentar

Tampilkan

Terkini