-->








Warga Buket Seleumak Pertanyakan HGU PTPN I Langsa

20 Maret, 2015, 17.40 WIB Last Updated 2015-03-20T11:35:26Z
ACEH TIMUR - Interaksi perkebunan dengan rakyat tidak pernah berhenti, dan ini sangat berbeda dengan yang ada di Malaysia. Di negeri bekas jajahan Inggris tersebut, perkebunan bisa menjadi sumber kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi di Indonesia perkebunan justru menjadi sumber disintegrasi.

Seperti yang baru-baru ini, terjadi konflik agraria antara masyarakat desa Bukit Seleumak, Kec. Birem Bayeun, Kab. Aceh Timur dengan PTPN-I Kebun Tualang Sawit.

Padahal dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan disebutkan bahwa sebagai Negara yang bercorak agraris, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah karunia dan amanat Tuhan YME kepada bangsa Indonesia.

Potensi perkebunan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, diselenggarakan berdasarkan atas asas serta amanat UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dan di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan pasal 4 disebutkan bahwa perkebunan mempunyai fungsi antara yaitu untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan Nasional.

Terkait konflik sengketa lahan tersebut, beberapa pihak terkait turun langsung ke lapangan untuk melakukan identifikasi. Hadir dalam kunjungan tersebut, Ka-kan BPN Syafrizal, Kapolres Langsa, AKBP Sunarya, Kadis Kehutanan dan Perkebunan Atim, Iskandar, Muspika Birem Bayeun dan pihak PTPN-I serta ratusan masyarakat desa Bukit Seleumak, Kamis (19/03).

Amir Hasan Pj. Geuchik Bukit Seleumak, dalam kesempatan tersebut mengatakan sebenarnya bagaimana prosedur penerbitan HGU dan sejak kapan ada HGU PTP di Bukit Seleumak.

"Lahan ini bukan hutan yang kami kuasai dan kami garap sejak nenek kami bahkan sudah turun menurun. Masyarakat juga tidak merasa melepaskan lahan ini kepada siapapun," jelas Amir Hasan.

Pada tahun 1994, 1995, itu awal terjadi penyerobotan lahan masyarakat Bukit Seleumak. Semua tanaman masyarakat, masa itu karet, pinang dan coklat habis ditebang. Dan pada masa itu, tahun 1995-1996 masyarakat hanya diberi ganti rugi sebesar Rp 300-400 ribu/kapling atau 2 Ha, bahkan ada yang sama sekali tidak dibayar.

"Desa kami juga diklaim, tapi kami bertahan karena pemukiman. Dulu masyarakat juga berani bertahan dengan mempertahankan lahan, meskipun mereka (Orang PTP) selalu datang dengan aparat bersenjata pada masa itu," jelas Amir.

Lebih lanjut, kata Amir pada tahun 2005 kami buat program kelompok tani yakni kelompok tani Jaya dan mendapat program pemerintah yaitu program IDT. Saat itu ditinjau oleh Tim Dishutbun Atim bahwa lahan itu bukan HGU, anehnya mengapa tiba-tiba tahun 2011 ada HGU

Sejauh ini, lanjut Amir, pihak PTPN- I sama sekali tidak pernah memberitahukan kepada desa, terus PTP membuat parit isolasi, barulah ini muncul konflik. Selama keberadaan perusahaan atau PTPN-I yang ada hanya membuat sengsara bagi masyarakat, contoh saja dimana-mana daerah setiap perusahaan perkebunan selalu menimbulkan konflik dan lahan pertanian semakin lama semakin menyempit, jadi kemana masyarakat akan mencari kehidupan yang layak, apabila semua lahan dikuasai oleh perusahaan perkebunan.

"Kami hanya bisa berharap kepada pemerintah daerah juga DPRK serta pihak terkait untuk segera melakukan klarifikasi ulang terhadap dokumen HGU PTPN-I yang telah menyengsarakan masyarakat bukit Seleumak, jangankan kebun plasma, CSRnya sendiri tidak pernah jelas," pungkas Amir.

Disela-sela kegiatan identifikasi lapangan oleh Tim BPN setelah dilakukan pengukuran tapal batas dengan menggunakan alat GPS. Kepada lintasatjeh.com, Manajer PTPN-I Kebun Tualang Sawit, mengungkapkan bahwa ini adalah hanya perpanjangan HGU, luasnya sekitar 1950 Ha.

Tapi ketika pihak BPN dan Kadis Hutbun Iskandar mempertanyakan tentang legalitas atau izin prinsipnya, Manajer PTPN-I sedikit bingung dan mengatakan tidak ada surat-suratnya.

"Ini hanya perpanjangan HGU seluas 1950 Ha, dan suratnya juga tidak ada," ungkap Barosa.

Sementara Humas PTPN-I menjelaskan kalau PTPN-I tidak menyerobot lahan rakyat, apabila dikatakan menyerobot kita akan tinjau ulang seperti saat ini kita semua turun, soal hasil, kita akan tunggu apa yang direkap BPN, apa sesuai dengan titik kordinat dilapangan.

"Nah, apabila itu lahan masyarakat kita akan kembalikan kepada masyarakat tapi apabila itu lahan PTP harus dikembalikan kepada PTP," jelas Saifullah .

Sedangkan Ketua DPC LSM Perintis Kota Langsa, Zulfadli menanggapi persoalan konflik antara PTPN-I dengan masyarakat Bukit Seleumak, diminta BPN agar mengukur ulang lahan HGU PTPN supaya jelas semua.

"Jadi, jangan masyarakat selalu tergusur oleh setiap perusahaan, bagaimana masyarakat petani kita akan hidup bila lahannya selalu tergusur oleh para pengusaha perkebunan," demikian ungkap Zulfadli. [ar]
Komentar

Tampilkan

Terkini