-->








3 Mei 1999, Puluhan Orang Tewas di Simpang KKA

03 Mei, 2015, 18.37 WIB Last Updated 2015-05-03T11:37:59Z
LHOKSUKON - Tragedi berdarah di Simpang KKA Desa Paloh Lada, Dewantara, Aceh Utara masih menyisakan duka bagi keluarga korban serangan dari aparat TNI. Puluhan orang termasuk anak-anak ikut jadi korban.

Hari ini, tragedi tersebut sudah memasuki ke-16 tahun, tepatnya 03 Mei 2015. Ratusan warga menggelar doa bersama dan menziarahi sejumlah makam korban serangan tersebut.

Nama-nama korban yang tewas akibat serangan kebrutalan TNI itupun kini dipajang disebuah monumen di Simpang KKA yang sangat berharga dimata masyarakat Aceh Utara. Ada 21 nama korban tewas yang terdaftar pada monumen itu menurut pendataan oleh Tim Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU).

Masing-masing korban yaitu Karimuddin bin Yahya, Wardani binti Tgk Ben Puteh, Sudirman bin M. Badruddin, Yuni Afrita binti Abdullah, Yustina binti Abdul Muthaleb, Murdani bin Jafar, Nurmaniah binti Tgk Usman, Saddam Husein bin Razali, M. Nasir bin Tgk Buket, Jamaluddin bin M. Adam, Muchlis bin Muslem, Heri bin Rusli, Ramli bin Zakaria, Zainal bin Yakub, Hasanuddin bin Abdul Gani, Mulyadi bin Rajab, Murthala bin Tgk Ben Cut, A. Majid bin Umar, Khalid bin Syama'un, Razali bin Hanafiah dan Yuni bin Daud.

Nama-nama korban kini dipajang pada sebuah monumen yang membuktikan bahwa pernah terjadinya peristiwa tragedi Simpang KKA. Hal itu dilakukan agar masyarakat Aceh umumnya keluarga korban tak melupakan tragedi tersebut.

Sementara menurut K2HAU, umumnya para korban adalah pemuda dan pemudi yang masih lajang dan berstatus masih pelajar.

Sebagaimana diketahui, pada 3 Mei 1999, aparat negara begitu semena-mena terhadap rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Di hari itu, peluru dari moncong senjata dimuntahkan ke segala penjuru dan satu per satu tubuh warga Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, termasuk anak-anak.

Kenangan  buruk pada 3 Mei 1999 itu tak bisa dilupakan. Darah berceceran di simpang PT Kertas Kraft Aceh (Persero) atau PT KKA. Jeritan dan tangisan minta tolong kalah keras dari letusan senjata personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memuntahkan peluru ke kerumunan massa.

Peristiwa itu sudah lewat 16 tahun. Namun, keadilan atas pembantaian rakyat oleh aparat negara tak kunjung datang. Para korban masih terus menuntut keadilan. Mereka setiap tahun mengenang tragedi tersebut dengan menggelar kenduri dan doa bersama.

Mereka berharap diberikan keadilan oleh negara, meskipun pelaku penembakan juga sudah tidak diketahui keberadaannya.[chairul]
Komentar

Tampilkan

Terkini