-->

Biksu Pembenci Muslim Rohingya Merasa Mirip James Bond

26 Mei, 2015, 20.44 WIB Last Updated 2015-05-26T13:45:07Z
YANGON - Biksu Ashin Warathu disebut sebagai Bin Laden Buddha terkait dengan apa yang sudah dia lakukan terhadap warga muslim Rohingya di Myanmar. Namun, dia sendiri merasa lebih mirip dengan James Bond, agen mata-mata fiksi paling terkenal di dunia.

"James Bond seorang nasionalis," kata Wirathu seperti yang dikutip dari laman LA Times, Selasa, 26 Mei 2015. "Dia tidak melakukan kesenangan dalam bertindak. Dia melakukan hal tersebut untuk negaranya."

Menurut Wirathu, jiwa nasionalis James Bond sangat mirip dengan dirinya. Orang-orang yang kontra dengan Wirathu menyebutkan bahwa dia membela Myanmar dengan melawan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh bangsa, yaitu warga muslim.

Wirathu, 46 tahun, adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap para pengungsi muslim asal Myanmar. Pengungsi tersebut melarikan diri dari Myanmar ke Thailand dan Malaysia untuk menghindari pembantaian dan diskriminasi.

Dalam tulisannya di Facebook, Wirathu sudah memperingatkan adanya jihad untuk melawan kelompok Buddha yang besar. Dia menyebarkan desas-desus bahwa muslim secara sistematis memperkosa perempuan Buddha.

Wirathu pun menyerukan pemboikotan usaha milik warga muslim. Menurut dia, muslim adalah 'ular' dan 'anjing gila' yang tak perlu diajak bersosialisasi. "Kebanyakan muslim menghancurkan negara kita, rakyat kita dan agama Buddha," kata Wirathu.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan Wirathu dan gerakan radikal yang dia pimpin, yang disebut Kelompok 969, memicu kerusuhan sektarian yang menewaskan banyak orang sejak 2012. Sekitar 100 ribu orang Rohingya dipaksa ke kamp-kamp interniran yang membuat mereka terkena penyakit dan kekurangan gizi di negara bagian barat Rakhine.

Orang Rohingya kehilangan bantuan dari luar karena pemerintah mengusir kelompok bantuan asing pada 2014. "Wirathu memainkan peran sentral dengan pidato kebenciannya dan Islamophobia yang dia ciptakan," kata Penny Green, Direktur International State Crime Initiative di Queen Mary University of London.

Green mengatakan, di Myanmar banyak kelompok saling bermusuhan yang dapat menyebarkan kekerasan dengan sangat cepat. Karenanya, menurut dia, orang Rohingya lebih memilih menaiki kapal dan terombang-ambing di lautan berbulan-bulan. "Karena keberadaan mereka dan masa depannya lebih buruk dari itu."[Tempo]
Komentar

Tampilkan

Terkini