-->

Ketum PPWI Prihatin Sikap Kapolres Asal Njeplak

26 Juni, 2015, 00.12 WIB Last Updated 2015-06-26T12:03:34Z
JAKARTA – Oknum Kepala Kepolisian Resort Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, berinisial H berpangkat AKBP diduga tidak mengerti peraturan perundangan terkait masalah penanganan pelanggaran UU ITE. Tidak hanya itu, yang bersangkutan juga terlihat tidak paham hukum acara pidana dan proses penanganan suatu kasus.

Pasalnya, ketika ditanyakan melalui SMS tentang perkembangan kasus dugaan pencemaran nama baik yang diadukan anggota DPRD Rote Ndao terhadap akun facebook atas nama Roby Henuk, oknum kapolres tersebut menjawab, "jangan tanya sy tanya ke Dance Henuk krn dia sbg Tsk (red – Jangan tanya saya, tanya ke Roby Dance Henuk karena dia sebagai tersangka". Ketika masalah tersebut ditanyakan (dengan pertanyaan yang sama) kepada Kasat Reskrim Polres Rote Ndao, AKP Benediktus Min, menjawab bahwa, "Dalam proses lidik/sidik (red – masih dalam proses penyelidikan/penyidikan)".

Artinya, proses penanganan kasus yang dilaporkan oleh Ketua Fraksi PDIP dan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Rote Ndao tersebut masih dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan. Polisi yang ditugaskan menyelidiki perkaranya masih pada tahap memanggil saksi dan mengumpulkan bukti yang menguatkan dugaan perbuatan kriminal yang diadukan. Sampai tahap ini belum ada penetapan seseorang (atau sekelompok orang) sebagai tersangka. Aneh sekali jika seorang kapolres dengan gegabah menyatakan Tsk (red - tersangka) kepada seorang pemilik akun facebook yang diadukan itu.

Lebih parah lagi, ketika persoalan ini (lagi, dengan pertanyaan yang sama) ditanyakan kepada anggota polisi yang menangani langsung kasusnya, Ipda Made, dia menyatakan bahwa, "spngtahuan sy tdk ada kasus pncmran nama baik oleh robby dance henuk yg ada oleh akun fb roby henuk, trims (red – sepengetahuan saya tidak ada kasus pencemaran nama baik oleh Robby Dance Henuk, yang ada oleh akun facebook Roby Henuk, terima kasih)". Berdasakan keterangan Made ini, amat jelas bahwa belum (baca = tidak) ada tersangka hingga saat ini atas kasus kriminalisasi pengguna jejaring sosial oleh kedua oknum ketua fraksi di DPRD Rote Ndao dimaksud.

Terkait jawaban oknum kapolres yang asal "njeplak" di atas, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke menyatakan amat prihatin. "Betapa mirisnya melihat kualitas kapolres, yang notabene merupakan pimpinan aparat kepolisian tertinggi di wilayah kabupaten terkait, yang memprihatinkan. Seorang pimpinan wajib mengerti dan memahami, juga mampu menerapkan aturan penetapan seseorang warga masyarakat menjadi terlapor, terperiksa, tersangka dan seterusnya," kata Wilson.

Lebih jauh, lanjut dia, Pimpinan Polri di pusat perlu terus-menerus melakukan evaluasi atas kinerja dan kemampuan kerja aparatnya di lapangan. Banyaknya keluhan masyarakat tentang kinerja buruk polisi selama ini tidak lepas dari rendahnya kualitas anggota kepolisian, terutama di tingkat pimpinan. "Saya mengharapkan Kapolri secara terus-menerus mengevaluasi kinerja aparatnya di tingkat bawah, dan melakukan usaha-usaha peningkatan kapasitas dan profesionalitas anggota, terutama para pimpinannya," tegas Wilson.

Menyangkut substansi masalah yang dikasuskan oleh oknum DPRD atas akun facebook Roby Henuk, Ketua Umum PPWI yang merupakan Alumni Lemhannas PPRA-48 tahun 2012 itu berpendapat bahwa aparat di Polres Rote Ndao dianggap tidak memahami ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Apalagi melihat isi pernyataan di akun facebook yang dipersoalkan anggota dewan itu. Menurut Wilson, dengan diadukannya akun facebook itu ke polisi, hal ini menunjukan kebenaran isi pernyataan di akun tersebut bahwa kedua oknum anggota dewan itu "bodok (red – bodoh)".

"Salah satu indikator orang dikatakan bodoh yaa itu, tidak paham substansi masalah, tidak mampu berpikir analitik, kurang menggunakan logika dan akal-pikiran, yang dikedepankan hanya perasaan, ego, dan emosi pribadi. Jika tidak bodoh, tentu dia akan menunjukkan bahwa dia pinter, bukan malah melapor ke polisi, itu yaa namanya orang bodoh," tutur Wilson.

Saat ini, kata Wilson, yang banyak mengadvokasi warga yang dikriminalisasi polisi terkait menyatakan pendapat dan aspirasinya menggunakan media sosial ini, Mabes Polri sudah lebih berhati-hati dan selektif dalam menangani kasus pencemaran nama baik menggunakan media sosial karena pasal 27 UU ITE yang sering digunakan tersebut selalu bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas publik yang menjadi roh dari UU Nomor 14 tahun 2008. Kontrol publik terhadap kinerja lembaga-lembaga negara dari pusat hingga ke daerah-daerah sangat penting, yang oleh karena itu amat penting artinya untuk menjamin kebebasan berbicara dan menyampaikan aspirasi dari setiap warga negara.

"Mabes Polri pada beberapa kesempatan diskusi publik, termasuk di Dewan Pers beberapa waktu lalu, sudah memberikan signal bahwa pasal 27 UU ITE tersebut sebagai pasal karet dan abu-abu, yang hingga kini belum ada peraturan pemerintah atau perkap tentang prosedur teknis penerapan pasal tersebut," ujar alumni pasca sarjana Universitas Utrech, Belanda itu.

Lantas, apa yang mesti dilakukan oleh seseorang yang merasa "dilecehkan" oleh perkataan atau pernyataan seseorang melalui media massa dan/atau media sosial? Wilson menjawab singkat bahwa yang bersangkutan perlu kontemplasi dan introspeksi diri. Orang cerdas dan pintar selalu melihat setiap pernyataan negatif terhadap dirinya dari seseorang sebagai masukan, kritik, dan cermin untuk memperbaiki dan meningkatkan dirinya.

"Yang harus dilakukan oleh setiap pejabat negara, dalam hal ini kedua oknum ketua fraksi di DPRD Rote Ndao dalam kasus akun facebook Roby Henuk, adalah introspeksi diri dan menunjukkan kepada publik bahwa mereka tidak seperti apa yang dituliskan di akun facebook Roby Henuk," tutup Wilson.[KOPI]
Komentar

Tampilkan

Terkini