-->

Budaya Meugang Membudaya Di Aceh

16 Juli, 2015, 01.26 WIB Last Updated 2015-07-15T21:40:29Z
ACEH TIMUR - Semaraknya suara takbiran yang berkumandang disetiap sudut dan ditengah sendi masyarakat, menandakan datangnya hari yang fitrah, namun menjelang satu min H, di Bumi Serambi Mekkah ini adanya hari istimewa, yaitu hari meugang.

Meugang  bagi masyarakat Aceh sudah menjadi tradisi sejak turun menurun, meugang merupakan tradisi sangat unik di Aceh yang tidak dimiliki di daerah lainnya. Tradisi ini terjadi tiga kali dalam setahun, yakni sehari jelang Ramadhan, sehari jelang hari raya idul fitri dan sehari jelang hari raya idul adha.

Hari meugang meurupakan hari ramai-ramai saatnya menyantap daging. Tak ada perbedaan kaya dan miskin pada hari tersebut. Semua orang akan berusaha untuk memperoleh daging, meski hanya sekilo. Tidak pandang bulu dan taraf kehidupan, meski hidup dalam kondisi pas-pasan, namun tetap akan mempersiapkan dana untuk membeli daging dihari meugang.

Dari sini pula kemudian muncul pribahasa Aceh, ''Dalam Sithon Tausaha Sibuleun pajoh'' (setahun berusaha sebulan menikmatinya). Sibuleun pajoh yang dimaksud disini puncaknya pada meugang ramadan, setahun berusaha akan dinikmati dalam sebulan penuh di bulan ramadan.

Tradisi meugang sudah menjadi adat sejak zaman dahulu di Aceh. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, penguasa (raja) dan orang kaya (uleebalang) akan menyembelih sapi dan dagingnya dibagi kepada penduduk fakir, miskin dan anak yatim. Tujuannya, pada hari menyambut puasa tersebut seluruh rakyat harus menikmati masakan daging.

Pada hari meugang, seluruh pelosok Aceh, tradisi memotong sapi secara kolosal. Hanya sebagian dari daging tersebut yang dimasak oleh warga di rumahnya masing-masing. Meugang juga membangun kebersamaan, sebelum hari meugang para perangkat gampong seperti geuchik, tuha peut, imum dan tuha lapan akan melakukan musyawarah di meunasah membahas tentang dana untuk penyembelihan sapi di hari meugang.

Bila dana tidak cukup akan dilakukan ripe atau meuripe (tek-tean), yakni mengumpulkan uang bersama untuk membeli sapi atau kerbau yang akan dipotong pada hari meugang. Selain memperoleh daging dari hasil meuripe, masyarakat juga membeli daging yang dijual di pasar. Pasar daging dadakan di hari meugang inilah yang membuat harga daging di Aceh termahal dari daerah lainnya sepanjang masa.

Penyembelihan sapi dilakukan di perkarangan meunasah oleh panitia yang telah ditunjuk oleh Geuchik dan Teungku Imum selaku pimpinan desa. Panitia akan membagi daging tersebut dengan porsi yang sama, mulai dari daging, tulang hingga jeroan. Jumlah pembagian tergantung jumlah penduduk kampung tersebut.

Namun selain meugang gampong, penyembelihan besar-besaran pada hari meugang biasanya dilakukan di lapangan terbuka di pasar. Para pria akan berbondong-bondong ke pasar membeli daging untuk dibawa pulang ke rumah. Bagi anak muda ini merupakan momen untuk menafkahi keluarga sebelum ia melangkah ke jenjang perkawinan. Sementara itu bagi lintobaro (pengantin pria) yang baru menikah momen meugang bisa merupakan uroe meubalah (berbalas) yakni membalas pemberian mertua pada hari pesta dengan mebawa pulang daging pada hari meugang.

Sejak Aceh masih dipimpin sang raja besar di Nusantara ini, yakni Sultan Iskandar Muda, budaya Meugang sampai hari ini sudah menjadi tradisi yang melekat  dalam sendi kehidupan masyarakat Aceh, ''tapi yang sangat disayangkan, tradisi megang tersebut menjadikan harga daging yang melambung tinggi, dibandingkan didaerah lain di Indonesia, seharusnya Pemerintah Aceh, dapat menekan harga ternak sapi dan kerbau yang akan dipotong dihari meugang, dengan upaya pengadaan sapi yang mencukupi, sehingga tidak terdengar harga sapi dan kerbau  melonjak harga saat musim meugang seperti saat ini,'' ujar Ilyas Ismail Pengurus Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Timur, kepada lintasatjeh.com Rabu 15 Juli 2015.

Ilyas menambahkan, karena meugang tidak mengenal kaum dan taraf kehidupan, baik sikaya mapun simiskin, untuk itu Pemerintah Aceh harus berupaya meringankan beban tingginya harga sapi bagi masyarakat miskin dengan berbagai upaya, misalnya subsidi harga daging saat hari meugang yang dikhususkan bagi masyarakat dhuafa.

"Setidaknya warga miskin dapat menikmati daging menjelang lebaran seperti ini, terkadang setiap rumah tangga miskin bukan hanya mempunyai anggota keluarga satu atau dua orang saja, yang hanya cukup dengan satu kilogram daging, namun mereka juga mempunyai keluarga besar, tentunya membutuhkan biaya besar jika harus membeli daging 3 hingga 4 kg dengan harga mencapai Rp 150 ribu/ kg,'' jelas Ilyas.

Harapan Ilyas dan masyarakat Aceh, di hari meugang akan datang dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Aceh dapat mencari kebijakan untuk meringankan beban kaum dhuafa di tanah rencong ini,''semoga saja kaum dhuafa juga dapat menikmati daging menjelan H-1 lebaran,'' demikian pungkas Ilyas Ismail yang juga penulis aktif di Media Cetak Lokal. [Iskandar]
Komentar

Tampilkan

Terkini