-->








Soal Anggota Polri Gabung ISIS Tidak Perlu Dibesar-besarkan

10 Juli, 2015, 22.14 WIB Last Updated 2015-07-10T15:14:00Z
JAKARTA - Mengapa anggota Polri bisa kemasukan paham ISIS yang notabene sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Polri dalam mengedepankan patriotisme dan kewajiban membela negara?

Demikian pertanyaan disampaikan Pemerhati Kontra Terorisme, Harist Abu Ulya menanggapi respon Kapolri terkait Brigadir Syahputra yang diduga bergabung dengan ISIS dan meninggal di Suriah belum lama ini.

“Seorang anggota Polri seiring dengan perjalanan waktu, kemudian ia keluar resmi atau disersi karena sebuah sebab itu wajar,” kata Harist dalam rilisnya kepada hidayatullah.com belum lama ini.

Menurut Harist ada kalanya seorang memilih mundur dari Korp Bayangkara karena soal keyakinan atau nilai-nilai normatif lainnya yang diyakininya dan tidak semata karena masalah ekonomi ataupun moralitas.

Sosok Syahputra, lanjut Harist adalah contoh realitas pergulatan seorang manusia yang mencari nilai yang lebih dianggap mampu memuaskan pikiran, menentramkan batin dan kadang kala nilai baru yang ia temukan tidak kongkruen dengan doktrin-doktrin yang diperolehnya selama pendidikan dan bertugas di Korp Bayangkara.

“Dan hal ini bisa terjadi kepada siapa saja dan dari korp manapun termasuk dari aparat sipil,” cetus Harist yang juga Direktur CIIA.

Kasus Syahputra menurut Harist tidak perlu dibesar-besarkan dan masyarakat harus proporsional karena di luar kasus ISIS faktanya banyak aparat pemerintah yang kelakuannya juga kontra dengan patriotisme dan doktrin nasionalisme.

“Bahkan para pejabat politik di negeri ini sudah berperilaku opurtunis menjual Indonesia untuk kepentingan asing. Sehingga dampaknya jauh lebih nyata dan lebih besar dibandingkan pilihan pribadi seorang Syahputra,” ungkap Harist.

Harist menegaskan soal bagaimana seorang anggota kepolisian bisa “terkontaminasi” dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap radikal, itu bukan hal yang mustahil dan sangat mudah terjadi dengan dunia yang “datar” seperti saat ini. 

“Serta dengan tingginya teknologi yang bisa menghubungkan kepada semua orang, di luar interaksi langsung interpersonal dalam beragam momentum,” pungkas Harist.[Hidayatullah]
Komentar

Tampilkan

Terkini