-->




Eks Kombatan: Wahai Pemimpin Bersinergilah untuk Mencapai Tujuan

12 Agustus, 2015, 18.39 WIB Last Updated 2015-08-12T11:39:35Z
Senpi milik GAM yang dimusnahkan pasca damai (Ist)
LHOKSUKON – Genap sepuluh tahun berjalannya perdamaian di bumi serambi mekah (15 Agustus 2005-15 agustus 2015), dimana proses pendewasaan terhadap sebuah  kesepahaman dimaknai dengan proses pencapaian yang masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh mandegnya proses regulasi produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh harus sesuai dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
Hal tersebut diungkapkan Muhammad Azmuni alias Bodrex, mantan Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pasee, menurutnya, seolah  Pemerintah Aceh saat ini terlalu disibukkan dengan masalah pranata hukum tersebut sehingga kurang sensitif terhadap isu-isu kesejahteraan mantan kombatan GAM dan Rakyat. Ironisnya lagi, katanya, hal ini akan jadi bumerang bagi Pemerintahan saat ini karena dengan isu paket kesejahteraanlah proses tuntutan regulasi hukum tersebut diganjal, dengan isu kepentingan kesjahteraan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan politik, disadari atau tidak Pemerintahan Aceh saat ini didominasi oleh mantan petinggi GAM sebenarnnya harus konsen terhadap instrumen perang masa konflik (mantan kombatan) dimana mereka digunakan sebagai ujung tombak perjuangan yang hari ini kesejahteraan mereka seolah terabaikan, namun secara pribadi dirinya menilai konsentrasi terhadap isu kesejahteraan telah dilakukan namun belum optimal.
“Ketahuilah bahwa ketika konflik berkecamuk di Aceh, para kombatan GAM begitu santun dan sangat menjunjung tinggi perintah komando (peunutoh) bukan hanya dikalangan jajaran GAM saja bahkan masyarakat sekalipun sangat bersimpati terhadap perjuangan, seolah saya ingin me review kembali dimana ketika terjadi mogok massal serentak di seantero Aceh, peunutoh tersebut hanya beberapa jam setelah dikeluarkan oleh pimpinan GAM, berlaku efektif tanpa ada pihak-pihak yang tidak mengindahkannya meskipun dibawah ancaman militer yang saat itu menguasai sebagian besar wilayah Aceh,” ungkap Bodrex di Lhokseumawe, Rabu (12/8/2015).
Menurutnya lagi, pelajaran yang dapat dipetik ketika itu adalah tingginya rasa solidaritas dan integritas terhadap but peurdjuwangan bahwa para leadership di kalangan GAM masih satu tujuan dalam menjalankan visi dan misi but perdjuwangan tanpa terkontaminasi konflik kepentingan.
Namun, katanya, satu dekade ini pasca perdamaian dihadapkan pada proses disentegrasi dimana faktor kepentingan menjadi pemicu utamanya. Herannya, sambung Bodrex, melihat atmosfir politik dewasa ini yang terkesan melucuti tujuan dasar berjuang, lebih terperangah lagi oleh statement para elite politik  yang saling peupachep sesama rekan seperjuangan.
“Jika saya flashback ke awal terjadinya proses perdamaian di Aceh,  maka kita telah berada pada dimensi pengorbanan. Betapa tidak, konfrontasi antara GAM dan TNI telah menyisakan puluhan ribu nisan yang tanpa nama dan ratusan ribu anak yatim, dan mencapai klimaksnya pada musibah yang super dahsyat dan dunia terhenyak dibuatnya, yaitu tsunami yang meluluh lantakkan Nanggroe Aceh    seolah tak bertuan dengan ratusan ribu korban nyawa, adakah hikmah dibalik bencana yang sarat makna ini?,” ujarnya.
Seraya mengatakan, ketika mendengar kabar bahwa sebentar lagi akan terjadinya perdamaian  melalui jaringan radio satelit yang dipegang pimpinan, namun ada kekhawatiran di dalam hati tentang kondisi keamanan paska perdamaian, pihaknya selaku mantan kombatan mengakui harus rela berpisah dengan sahabat sejatinya yakni beuso batok alias senjata yang menemani keseharian semasa konflik, senjata merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, karena prinsip seorang gerilyawan adalah hilang senjata diartikan dengan hilang nyawa, namun rela atau tidak rela pimpinan kami telah mengintruksikan agar semua senjata atau atribut militer diserahkan kepada pihak AMM untuk di lakukan proses decomissioning, secara serentak tanpa ada pertanyaan, meski dibelit rasa was-was namun harus  rela walaupun nyawanya terancam demi sebuah intruksi yang namanya peunutoh.
“Kalau dulu pimpinan kami searah dan sejalan alias kompak (solid) dalam memberikan peunutoh, tetapi kenapa hari ini anda-anda pimpinan kami justru yang terlihat tidak kompak lagi dalam menjalankan peunutoh, jangan jadikan jabatan sebagai alasan untuk menghentikan tujuan dasar perjuangan,” keluhnya.
Bodrex menambahkan, “Saya teringat kepada alm Tgk Abdullah Syafii yang ketika ditanya kenapa bermunajat agar disyahidkan sebelum tujuan perjuangan tercapai beliau menjawab bahwa ketika nanti tujuan perjuangan tercapai saya tidak ingin dicap sebagai seseorang yang haus akan jabatan, karena saya berperang melawan kesewenang-wenangan terhadap rakyat, yang saya lakukan adalah tanpa pamrih,” tambah kader Partai Aceh itu.
Sejatinya, sambungnya, pemimpin politik berkaca pada kesehajaan seorang Tgk Lah bukan justru berkompetisi memperebutkan jabatan, tetapi lebih kepada tujuan bersama. Karena esensi perdamaian itu sendiri adalah tercapainya tujuan menyeluruh dari kesepakatan politik yang telah di tanda tangani.
Sebuah pernyataan yang pernah dikeluarkan oleh George Washington Presiden pertama Amerika tentang pentingnya persatuan, ”persatuan merupakan syarat utama terpeliharanya kebebasan, cinta anda harusnya membuat anda menjaga orang lain.”
“Pemimpin politik kami mohon anda bersinergi dalam upaya mewujudkan cita-cita perjuangan kalau anda masih ingin didengar, maka dengarlah isi hati kami mantan kombatan yang sudah lelah menyaksikan teatrikal politik anda yang syamsyareh alias peugah meunoe puebut meudeh, lebih obyektiflah  melihat fakta yang sebenarnya bahwa sekelumit kepentingan anda telah menghilangkan sebongkah tujuan dasar perjuangan,” harapnya.
Dirinya juga mengharapkan, hilangkan konspirasi kepentingan yang berpotensi merusak citra keutuhan perjuangan untuk upaya tersebut dibutuhkan konsolidasi agar terjadi keseragaman dalam hal menentukan tujuan perdamaian.
Usia gaek tidak menjadi patokan dalam bertindak dan bersikap dewasa, namun bersikap jiwa besarlah dalam menerima perbedaan serta menyatukan persepsi yang berseberangan sangat diharapkan, jadi jangan berkomitmen, jika tidak bisa menjalankan komitmen tersebut. Bahwa pihaknya para mantan prajurit GAM mampu mengesampingkan sifat egoisme dan darah muda karena respect terhadap pimpinan, meski terkadang pihaknya melihat kebijakan melukai hati.
“Almarhum proklamator Gerakan Aceh Merdeka hendaknya bisa dijadikan panutan, bagaimana beliau dengan ideologi ke-Aceh-annya mampu menggerakkan semangat juang bagi menentang kedzaliman, tidak hanya itu saja beliau juga rela mengorbankan kebahagiannya demi kebahagiaan kita semua, tidakkah menjadi iktibar bagi kita bahwa harapan beliau hanya satu Aceh yang bermartabat di segala sector,” ungkapnya lagi.
Seraya menambahkan, “dengan semboyan yang pernah saya dengar dahulu “keurja keu nanggroe bek kerja bak nanggroe”  bisa kita transformasikan sebagai apa yang telah kita lakukan terhadap kepentingan Aceh  tidaklah menjadikan kita sebagai seseorang yang mengambil manfaat secara pribadi dari sebuah kepentingan bersama,” tambahnya.
Menurutnya, sebenarnya tidaklah sulit mencapai tujuan jika didasari dari ideologi yang sama hanya saja kita masih “peutimang mbong” untuk tidak saling membuka ruang komunikasi dan diskusi, agar mencapai kesepakatan dalam koridor perjuangan dengan mengedepankan konsep care, respect and trust  sehingga mampu mewujudkan harmonisasi kembali semangat juang yang terkesan mati suri.
Dalam catatan ini pihaknya di lini bawah alias “sikrek balok “ mengharapkan pimpinan GAM untuk saling bersatu dengan menghilangkan perbedaan pandangan politik demi menyelamatkan kepentingan Aceh, ciptakan kembali nuansa kebersamaan dengan mempererat tali silaturahmi.
“Karena orang geutanyoe memang memiliki filosofi “menyoe hate hana teupeh nyawong siblah tabagi dua, meunyoe hate kateupeh bu leubeh han ta peutaba”  maka sangat dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam menghadapi karakteristik orang geutanyoe yang sebenarnya, sangatlah baik jika dihadapi dengan kebaikan namun ketika di hadapi dengan arogansi maka dia siap jadi lawan yang tangguh,” imbuhnya.
Lanjutnya, dalam usia perdamaian 10 tahun ini pula pihaknya mengajak seluruh element yang ada di Aceh, agar menjadikan momentum satu dekade peringatan MoU helsinki sebagai tuntutan bagi Pemerintah Pusat agar segera menuntaskan point-point MoU Helsinki yang belum sepenuhnya direalisasikan, dan segera hilangkan kekhawatiran bahwa dengan mengimplementasikan seluruh butiran MoU akan mengancam kedaulatan, hal ini sebagaimana upaya yang dilakukan oleh Gubernur Zaini Abdullah yang menyatakan bahwa mimpi memerdekakan  telah dilupakan dan berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenuhi janjinya untuk merealisasikan semua regulasi turunan Undang-Undann (UUPA) sebelum masa jabatannya berakhir, lalu apalagi yang harus dikorbankan supaya turunan UUPA itu dikeluarkan?
“Sebagai konsituen politik kami berharap para legislator yang mewakili  di tingkat DPD dan DPR RI sudah seyognya memperjuangkan aspirasi masyarakat  dalam konteks kepentingan Aceh harus lebih diutamakan ketimbang kepentingan Partai yang menaungi aktivitas politik mereka,” ujarnya.
Setidaknya sebuah ungkapan dari Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar akan menjadi kesimpulan makna hierarki dari sebuah perdamaian yakni, “Dalam perang, kita telah banyak berkorban. Tetapi dalam perdamaian juga kita harus banyak berkorban lagi. Biaya perang memang mahal, tetapi biaya merawat perdamaian jauh lebih mahal. Maka peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan seluruh rakyat Aceh.”
“Pupuk kembali rasa persatuan yang telah memudar dimasa transisi ini dengan saling berinteraksi sesama di semua level baik di kepemimpinan bawah maupun di level kepemimpinan elite semoga saja kualitas hubungan baik ini menjadi ikatan simbiosis mutualisme,” demikian ungkap Muhammad Azmuni alias Bodrex. [rls/pin]
Komentar

Tampilkan

Terkini