-->








'Pat Gulipat' Kasus Dugaan Mark Up Lahan Asiong Rp 2,5 M

09 Oktober, 2015, 17.09 WIB Last Updated 2015-10-09T10:10:22Z
IST
ACEH TAMIANG - Kasus dugaan korupsi sejumlah proyek bermasalah banyak terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang. Hal ini dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta adanya dugaan mark up anggaran diawali adanya konspirasi kepentingan oknum-oknum di jajaran eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang. Kemudian, tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembangunan dan terkesan asal-asalan serta tidak transparansinya asal anggaran, justru besar potensi timbulnya kerugian keuangan negara. Dengan adanya keanehan dan kejanggalan terutama diproses penganggaran, maka ini harus diusut tuntas.

Seperti kasus dugaan mark up lahan milik Suherli alias Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, diduga akan menyeret banyak oknum pejabat eksekutif beserta oknum pejabat legislatif di kabupaten setempat. Nilai dugaan mark up cukup fantastis dimana harga lahan ditaksir tidak mencapai Rp 800 juta namun dianggarkan hingga angka Rp 2,5 miliar. Saat ini proses penyidikan masih berjalan, dalam proses penyidikan pihak Kejari Kuala Simpang, Aceh Tamiang.

Berikut hasil penelusuran dan investigasi wartawan dalam upaya mengungkap jejak kasus lingkaran 'SETAN' dugaan korupsi anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. 

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan yang dilakukan oleh LSM LembAHtari yang menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, dugaan itu muncul karena usulan ganti rugi lahan tidak pernah dibahas oleh Badan Anggaran DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lalu. Memang, pada tanggal 8 Agustus 2014, ada rapat terakhir Badan Anggaran DPRK yang dipimpin Wakil Ketua DPRK H. Arman Muis. Namun berdasarkan resume dan hasil rapat tersebut, Banggar tidak membahas tentang persoalan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional itu. Tapi anehnya, pada tanggal 5 September 2014, muncul anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional tersebut, di APBK Perubahan 2014 dengan anggaran sebesar RP 2,5 Milyar dan ditetapkan dalam Qanun APBK P No.5 Tahun 2014.

"Kalau kita usut ke belakang. Pada awalnya pihak terkait, dalam hal ini Disperindagkop Aceh Tamiang di bulan 4, 5, 6 dan bulan 7 tahun 2014, tidak pernah ada usulan program itu. Ini suatu keanehan, kok tiba-tiba diplotkan di APBK P, darimana sumber dananya?" demikian tanya Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH, beberapa waktu lalu kepada wartawan.

Masih kata Sayed, namun ini perlu pembuktian, dan kita sudah ada data penunjang. Karena soal ganti rugi lahan tersebut di akhir Tahun 2012, tidak mencapai Rp 800 juta, tapi kok Tahun 2014 bisa di angka Rp 2,5 Milyar. Meski ada pemotongan di BPHTB, namun apabila berpatokan NJOB, tidak sampai di angka itu. Seharusnya, dalam menentukan harga ganti rugi lahan memakai nilai kepatutan. Ternyata, tidak ada estimasi anggaran lagi dari Disperindagkop untuk pembangunan lokasi itu kedepan.

"Sudah perencanaan asal-asalan, kemudian tidak ada pengembangan lanjutan. Jelas, ada indikasi mark up, ada potensi korupsi," sebut Sayed Zaenal.

Pengakuan Mantan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang

Terkait kasus tersebut, mantan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang, Abdul Hadi, mulai berani menyampaikan kejujurannya bahwa berita yang beredar mengandung unsur kebenaran. Cuma menurutnya, terkait permasalahan indikasi mark up yang harus diklarifikasi balik. Mantan Kadisperindagkop mengaku proses ganti rugi lahan untuk lokasi pusat pasar tradisional Minuran sudah sesuai dengan standar perbandingan harga. Dengan sertifikat pembanding dan juga telah sesuai dengan surat keterangan harga dari datok desa setempat.

“Jujur, saya katakan bahwa pekerjaan tentang pembangunan pusat pasar tradisional di Minuran tersebut bukanlah usulan dari saya. Dan saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan. Dan saat itu saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan untuk membuat usulan karena dikabarkan ada anggaran di bagian keuangan dan rancangannya pun sudah disiapkan oleh pihak Bapeda Kabupaten Aceh Tamiang. Oleh karenanya semua data untuk pekerjaan yang saya usulkan tersebut, langsung di drop out dari pihak badan anggaran ke pihak petugas anggaran di Disperindagkop Aceh Tamiang,” katanya.

"Ironisnya, usulan tersebut sudah ada dokumennya dan ada kesan bahwa seolah-olah dokumen yang sudah dipersiapkan itu sebagai alat pembuktian bahwa jauh-jauh hari saya sudah membuat usulan tentang pekerjaan yang sedang didera masalah besar ini. Saya membuat usulan setelah dinyatakan adanya anggaran oleh bagian keuangan serta pihak Bapeda Aceh Tamiang. Ketentuannya, jauh-jauh hari saya harus membuat usulan terlebih dahulu, barulah nantinya akan muncul anggaran untuk usulan tersebut. Bukankan pekerjaan ini sangat rancu?" tanyanya serius.

Masih menurut Abdul Hadi, biasanya untuk mengusulkan anggaran berupa pengecatan kantor ataupun untuk perbaikan komputer rusak, sangatlah sulit prosesnya. Tapi entah kenapa untuk anggaran yang jumlahnya sangat besar tersebut, yakni sejumlah Rp. 2,5 Milyar, sangat mudah sekali pencairannya? Siapa sesungguhnya yang telah nekad bermain curang dalam permasalahan ini? Kita harus menganalisa tentang kapasitas dan sistem kerja pihak Panitia Anggaran Kabupaten Aceh Tamiang. Apakah panitia anggaran yang terdiri dari A, B, C dan seterusnya merupakan panitia beneran, top down, ataukah hanya panitia titipan?

"Adapun keanehan lainnya yang terlihat adalah usulan tentang permasalahan pusat pasar tradisional di Minuran tidak pernah dibahas dalam sidang-sidang saat menuju pencairan anggaran. Saya justru merasa curiga terhadap sikap kepedulian yang terkesan berlebihan dari seorang Ketua DPRK Aceh Tamiang terhadap kasus ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Minuran. Selama ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Minuran tersandung masalah, Ketua DPRK Aceh Tamiang sangat sering menelpon saya, dan selalu menanyakan tentang kabar permasalahan tersebut. Bahkan saat sekda menggelar rapat terkait permasalahan tersebut, Ketua DPRK Aceh Tamiang berupaya hadir walaupun tanpa ada undangan. Ketua DPRK berupaya untuk terus memantau (memonitor_red), tentang permasalahan ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kec. Kejuruan Muda. Apa maksud dan tujuan atas perilaku aneh Ketua DPRK Aceh Tamiang tersebut?" tanya Abdul Hadi dengan perasaan aneh.

Kesaksian Anggota Banggar dan Wakil Pimpinan DPRK Aceh Tamiang

Kasus ini diduga melibatkan oknum-oknum di DPRK Aceh Tamiang serta Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Kadisperindagkop. Karena kasus ini dirasakan banyak kejanggalan dan penuh rekayasa sebab tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014. Hal ini diperkuat dari hasil konfirmasi wartawan dengan beberapa anggota Banggar yang terlibat saat itu.

Salah seorang anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, dari Partai Aceh (PA), Juniati menyampaikan bahwa seingat dirinya usulan ganti rugi lahan untuk pasar tradisional di Desa Minuran tidak pernah ada pembahasan di badan anggaran (banggar).

"Seingat saya, tidak ada dibahas di badan anggaran," sebut Juniati singkat.

Hal yang sama juga disampaikan anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, yakni Juanda dari Partai Amanat Nasional (PAN). "Seingat dirinya di Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang permasalahan ganti rugi lahan untuk pasar tradisional di Desa Minuran, Kecamatan Kejuruan Muda. Oleh karenanya, saat pencairan dana ganti rugi lahan tersebut, pada pertengahan bulan Desember 2014 kemarin, saya pribadi beserta banyak anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 lainnya, merasa sangat terkejut," demikian terang Juanda.

Bukan hanya itu saja, saat sejumlah saksi dipanggil dan dimintai keterangan oleh pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, menyatakan keterangan yang hampir sama. Diantara mereka menyatakan tidak pernah tahu pembahasannya. Ada enam anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, telah dipanggil dan diperiksa. Yang pertama sekali dipanggil dan diperiksa oleh pihak Kejari Kuala Simpang yakni Arman dari PDIP, pada hari Rabu, 10 Juni 2015 kemarin. Dan pada hari Jum'at, 12 Juni 2015, kembali menyusul untuk dimintai keterangannya yakni lima anggota Banggar lainnya. Adapun kelima anggota Banggar tersebut, masing-masing T. Insyafudin (PKS), Hamdani (PA), Bukhari (PA), Marlina (PDA) dan Hermanto (PAN).

Saat dikonfirmasi terkait hasil pemeriksaan oleh pihak Kejari Kuala Simpang, T. Insyafudin (PKS), menjelaskan bahwa pertanyaan pertama yang dilemparkan oleh pihak penyidik, apakah usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Minuran ada dibahas dalam sidang dibanggar?

“Dikarenakan usulan tersebut memang tidak pernah dibahas, maka saat itu saya jawab bahwa usulan terkait ganti rugi tanah di Minuran tidak pernah ada pembahasan sekalipun oleh pihak Banggar DPRK Aceh Tamiang 2014. Hampir seluruh kawan-kawan di Banggar DPRK Aceh Tamiang sangatlah merasa terkejut ketika mengetahui bahwa usulan tersebut telah dicairkan pada pertengahan bulan Desember 2014 kemarin. Kita sangat berharap semoga pihak penyidik di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang segera dapat mengungkapkan tentang sosok tokoh intelektual di balik kasus tersebut," tandasnya.

Kemudian, salah seorang anggota Banggar lainnya, Hamdani dari Partai Aceh, turut menjelaskan bahwa saat diperiksa oleh pihak penyidik di Kejari Kuala Simpang, dirinya juga dimintai keterangan terkait usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran.

“Kebetulan pada saat sidang di Banggar waktu itu, saya berhalangan hadir. Oleh sebab itu, kemarin saya tidak bisa menjelaskan secara rinci tentang usulan tersebut. Cuma bila ditilik dari notulen sidang dan juga ditambah dari pengakuan para rekan-rekan di Banggar, maka saya dapat menerangkan bahwa usulan ganti rugi lahan di Minuran tidak pernah dibahas sama sekali. Menurut keterangan lainnya dari rekan-rekan yang ikut sidang bahwa usulan yang sempat dimunculkan pada saat persidangan saat itu, yakni usulan tentang pengadaan lahan untuk Kantor Camat Kota Kuala Simpang. Namun usulan itu batal karena ditolak oleh rekan-rekan di banggar. Kita sangat berharap agar aktor utama atas dugaan kejahatan tersebut dapat segera terungkap dan dimintai pertanggungjawabkan atas semua kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Dan jangan bawa-bawa nama lembaga dalam kejahatan ini. Janganlah mendzalimi kawan-kawan, termasuk diri saya yang selama ini tidak tahu menahu tentang kejahatan tersebut, namun harus berurusan dengan pihak hukum. Kita yakin bahwa pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang akan mengusut tuntas kasus ini," ungkap politisi Partai Aceh tersebut dengan tegas.

Sedangkan adanya pengakuan pihak ketiga atau pemilik lahan (Asiong_red) saat diperiksa oleh penyidik Kejari Kuala Simpang, yang menyampaikan kepada penyidik bahwa dirinya pernah memberikan uang sejumlah ratusan juta rupiah kepada tiga pimpinan DPRK Aceh Tamiang periode lalu. Dua wakil pimpinan dewan membantah kesaksian Asiong kepada pihak penyidik.

Menurut keterangan dari salah satu Wakil Pimpinan DPRK, Juanda, SIP, mengaku tidak paham tentang nyanyian Asiong tersebut. "Saya tidak paham tentang nyanyian Asiong. Di APBK P 2014 lalu, saya masih berstatus anggota dewan," ujarnya singkat.

Wakil Pimpinan DPRK lainnya, Nora Idah Nita, SE ketika dikonfirmasi mengatakan bahwasanya tidak tahu menahu mengenai anggaran tersebut, karena dalam KUA PPAS tidak dibahas. "Di cek dalam notulen rapat juga tidak ada. Saya baru tahu setelah isu merebak dan diberitahu oleh mantan anggota Banggar DPRK periode lalu yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang 2014-2019, Bapak Juanda, SIP. Jangankan menerima aliran dana, anggarannya sendiri saya tidak tahu menahu. Kita percayakan saja kepada pihak penegak hukum untuk menuntaskan masalah ini," demikian jelas Nora Idah Nita, SE.

PJ. Datok Desa Bukit Rata Sebut Ada Titipan Dana Aspirasi Ketua DPRK

Hal itu diperkuat dari SMS yang dikirim Anggi Fahrian, Pj. Datok Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, kepada wartawan. Katanya, usulan ganti rugi lahan Asiong kemarin, ada titipan dana aspirasi dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK) Atam, Ir. Rusman, sebesar Rp 1 Miliar. Menurut Anggi, dirinya mengetahui tentang adanya titipan tersebut karena sering diberitahu oleh Ketua Asosiasi Kontraktor Aceh (AKA) Kabupaten Atam, H. Richard dan juga dari pemilik lahan, Asiong.

"Bila bapak kenal dengan Pak Hadi, Kadisperindagkop, mungkin beliau lebih tahu tentang hal tersebut," sebutnya.

Abdul Hadi, pun tak menampik bahwa usulan ganti rugi lahan Asiong kemarin, ada titipan dana aspirasi dari Ir. Rusman. Namun dia tidak mengetahui besaran nominalnya.

Sedangkan Ketua AKA Aceh Tamiang, H. Richard, yang dikonfirmasi melalui telepon mengaku tidak tahu tentang permasalahan ganti rugi tanah Asiong.

"Lokasi tanahnya saja saya tidak tahu dimana," ujar Richard kilahnya.

Aksi Bungkam Sekda dan Ketua DPRK Aceh Tamiang

Indikasi mark up dan dugaan tindak pidana korupsi ganti rugi tanah milik Asiong, saat ini kasusnya terus bergulir dalam penyidikan pihak Kejaksaan Negeri Kuala Simpang.  Tinggal tunggu "Jum'at Keramat" ala KPK untuk menentukan sang pesakitan. Dalam perkembangannya, kasus yang sudah lama diendus LSM LembAHtari ini,  sesungguhnya tidak bisa terlepas dari tanggung jawab Ketua Panitia Anggaran, yang dijabat Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Tamiang. Pria kelahiran 9 Desember 1961 ini, sebagai Ketua Panitia Anggaran ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional diduga kuat turut andil dengan timbulnya usulan siluman yang merugikan uang negara. Akan tetapi, sebagai Ketua Panitia Anggaran, pria bernama Ir. Razuardi, MT, saat ini terkesan bersikap tidak memiliki kesalahan apapun dalam permasalahan ganti rugi tanah milik Asiong tersebut. Dirinya berpura-pura tidak tahu terhadap pengakuan dari mantan Kadisperindagkop Aceh Tamiang, Abdul Hadi, yang menjelaskan bahwa tidak pernah mengusulkan kegiatan ganti rugi tersebut. Razuardi juga berpura-pura tidak tahu tentang pengakuan dari sebagian besar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, yang membeberkan bahwa usulan ganti rugi tanah Asiong, tidak pernah dibahas sekalipun dalam sidang-sidang Banggar DPRK Aceh Tamiang.

Wartawan saat melakukan konfirmasi hanya mendapatkan jawaban,"Nggak paham saya soal apa itu?"

Anehnya lagi, Sekda Aceh Tamiang yang dilantik oleh Bupati H. Hamdan Sati, ST, berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor Peg.821.21/005/2013, tanggal 26 April tahun 2013 lalu, terkesan berupaya berkilah dengan jawaban yang terkesan tidak nyambung dan asal ceplos.

"Saya aja tadi diinfokan, ya saya pelajari aja."

Serunya lagi, Razuardi juga berupaya memakai jurus diam seribu bahasa ketika diajukan dengan pertanyaan tentang sebab pelengseran Abdul Hadi dari Kadisperindagkop Aceh Tamiang yang diduga kuat karena untuk penyelamatan jabatannya. Karena saat itu, dirinya didera isu akan digusur bupati dari kursi jabatan Sekdakab Aceh Tamiang. Razuardi terlihat semakin enggan diajak komunikasi saat disinggung tentang pengakuan Pj. Datok Desa Bukit Rata, Anggi Fahrian yang secara blak-blakkan menyampaikan bahwa harga tanah milik Asiong yang bernilai sejumlah Rp.2,5 Milyar, sangatlah tidak pantas. Tapi nyatanya, harga itu merupakan hasil rembukan dari orang-orang yang mengikuti rapat di ruang Sekda pada tahun 2014 lalu.

Razuardi beralasan,"Makasihlah dialognya. Ni dah ngantuk juga. Untuk apa tanya-tanya ma yang nggak tahu. Ma'aflah kalau nggak berkenan."

Lain hal dengan Ketua DPRK Ketua DPRK Aceh Tamiang, Ir. Rusman, yang selama ini nekad memainkan jurus bungkam mengenai kasus ini. Padahal, Ir. Rusman diduga tahu persis usulan siluman ini yang berpotensi merugikan uang negara karena adanya mark up ganti rugi lahan Asiong senilai 2,5 Milyar. Jurus bungkam yang dimainkan oleh Rusman selama ini, diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan tentang keterlibatan dirinya dalam persoalaan ganti rugi lahan milik sahabat dekatnya, Asiong. Rusman yang selama ini terkesan takut memberikan hak jawabnya atas permasalahan ganti rugi lahan milik Asiong seharga 2,5 Milyar tersebut, telah menimbulkan pandangan bagi publik di Aceh Tamiang bahwa Rusman adalah salah satu oknum pejabat tinggi Tamiang yang diduga turut terlibat dalam kasus ganti rugi lahan yang sarat masalah. Bahkan dalam usulan ganti rugi ini berhembus kabar merupakan titipan dana aspirasi dewan milik Ketua DPRK. Namun wartawan selalu nihil melakukan konfirmasi karena sang Ketua DPRK saat dihubungi beberapa nomor selularnya tidak aktif, di sms pun tidak pernah terjawab bahkan berupaya ditemui dikantornya juga tidak ada di tempat.

LSM, Tokoh Pemuda dan Mahasiswa Siap Kawal Kasus

Sejumlah LSM, Tokoh Pemuda dan Mahasiswa Aceh Tamiang juga tidak tinggal diam mensikapi adanya konspirasi kepentingan antar pejabat publik baik di jajaran Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang ataupun Pimpinan DPRK terkait kasus tersebut. Hal ini dipicu akibat aktor yang terlibat belum diperiksa oleh penyidik Kejari Kuala Simpang,  padahal Sekda dan Ketua DPRK merupakan pejabat yang diduga mengetahui persis asal mula usulan ganti rugi lahan Asiong senilai 2,5 M. Selain itu, belum ditetapkannya tersangka oleh Kejari Kuala Simpang menimbulkan reaksi beragam.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda, H. A. Muthallib IBR, SE, SH, Msi, menyampaikan keprihatinannya atas terjadinya konspirasi dan dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan kegiatan ganti rugi lahan milik Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. Menurut H. A. Muthallib IBR, pembuktian adanya konspirasi jahat dan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan ganti rugi lahan milik Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, semakin terlihat secara terang benderang setelah mendengar pengakuan Pj. Datok Desa Buket Rata, Kecamatan Kejuruan Muda.

Pj. Datok Desa Buket Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, yang bernama Anggi Fahrian pernah mengungkapkan bahwa tanah milik Asiong seluas 12.000 M2 di Kebun Tengah akan dijual seluas 10.000 M2 (satu hektar_red), kepada pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang untuk dijadikan lokasi pembangunan "Gudang Bongkar Muat". Dari awalnya saja sudah ada pembohongan terhadap Pj. Datok Desa Buket Rata. Selain itu, Pj. Datok juga pernah menerangkan bahwa perbandingan harga tanah Asiong untuk dipinggiran jalan sekitar Rp.260 ribu s/d Rp.280 ribu. Dan untuk harga ke dalamnya lebih murah lagi. Selain itu, Pj. Datok Desa Buket Rata juga turut membeberkan bahwa harga tanah milik Asiong yang bernilai sejumlah Rp.2,5 Milyar, sangatlah tidak pantas. Namun menurutnya, harga setinggi itu adalah hasil rembukan dari orang-orang yang mengikuti rapat di ruang Sekda pada tahun 2014 lalu

"Tragisnya lagi, persoalan persen jual beli tanah untuk desa dan untuk kecamatan belum diberikan oleh si pemilik tanah yang terkenal dengan nama Asiong. Didasari oleh segala uraian di atas, maka selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda, saya memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan ganti rugi lahan milik Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, sudah cukup bukti adanya konspirasi dan dugaan tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara. Kejaksaan Negeri Kuala Simpang harus berani usut secara transparan dan tuntas kasus ganti rugi tanah Asiong di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, yang katanya untuk lokasi pasar tradisional. Jikalau pihak Kejari Kuala Simpang mendiamkan kasus ini, maka kita akan melaporkan ke Kajati Aceh," demikian ditegaskan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda, H. A. Muthallib IBR, SE, SH, Msi yang juga Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Aceh.

Sementara salah satu tokoh pemuda Aceh Tamiang, Irwan Agusti, S.Pd mengatakan kejahatan besar ini harus dijadikan moment oleh rakyat Tamiang untuk bangkit dan segera merapatkan barisan dalam upaya memerangi para koruptor yang semakin merajalela di Kabupaten Aceh Tamiang.  Kasus terkait indikasi mark up ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran harus benar-benar dikawal. Bila tidak ada pengawalan secara intensif, dikhawatirkan kasus tersebut akan mudah menguap dan bisa saja dilenyapkan oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab.

"Apalagi saat ini telah berkembang isu bahwa ada oknum yang berupaya melobby anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 untuk membuat pengakuan palsu bahwa usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, telah ada pembahasan di Banggar DPRK Aceh Tamiang. Saya sangat berharap kepada para anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, agar tidak mengkhianati kebenaran dan harus berani melawan konspirasi para oknum yang terindikasi melakukan pencurian uang negara," pungkas Irwan.

Persatuan Mahasiswa Aceh Tamiang (Pematang), pun angkat bicara soal kasus ini. Sebab, menurut Pematang, terkuaknya kasus tersebut merupakan pelengkap dari sekian banyak kasus-kasus yang terkesan dipeti"es"kan.

"Saya sangat mengharapkan transparansi dan profesionalisme pihak Kejari Kuala Simpang. Apalagi kasus ini diduga melibatkan nama Sekda dan Ketua DPRK Aceh Tamiang yang notabene sebagai wakil rakyat Tamiang. Pematang juga meminta semua LSM, Ormas, Pemuda, Mahasiswa dan masyarakat tetap lantang mengawal kasus ini hingga tuntas. Sehingga jangan sampai ada pihak yang terbeli karena kelicikan dan bujuk rayu sang "Aktor" kasus yang dinilai merugikan uang negara ini. Sebagai mahasiswa, kami siap mengawal proses dan kelanjutan dari kasus ini. Kami tidak mau rakyat Aceh Tamiang menjadi yang paling dirugikan. Dengan adanya isu cuci tangan dari pihak-pihak yang terlibat dan bahkan ada indikasi aktor kasus tersebut akan mengorbankan orang lain atas kebusukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab," tegas Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Industri, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ini.

Hal lain, diungkapkan Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Provinsi Aceh, yang menyampaikan rasa keprihatinannya terhadap sikap pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang yang terkesan lamban dalam melakukan proses penyelidikan kasus ganti rugi lahan ini.  “Seharusnya pada saat ini, pihak Kejari Kuala Simpang sudah memunculkan nama-nama para tersangka kasus ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda," ungkap Ketua LAKI Aceh, Abubakar

Menurut Abubakar, kasus ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda adalah kasus besar yang harus dikawal bersama sampai tuntas. "Kita tidak boleh lengah dan membiarkan kasus tersebut masuk angin. Sebagai Ketua LAKI Provinsi Aceh, saya menyatakan ikut bergabung dalam tim pengawal kasus  ganti rugi lahan untuk lokasi pasar tradisional di Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang," terang Abubakar. 

“Kalau terbukti, aktor mark up ganti rugi lahan milik Asiong bisa dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman pasal 2 itu minimal 4 tahun maksimal 20 tahun, pasal 3 minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun,” sebutnya.

LSM Komunitas Aneuk Nanggroe (KaNA) juga sependapat dan berkomitmen  mengawal kasus ini. KaNA menduga bahwa saat ini ada pihak-pihak yang berupaya 'mengaburkan' kasus ganti rugi tanah milik Suherli alias Asiong. Dugaan itu terlihat jelas dari sikap pihak Kejaksaan Negeri (Kejari), Kuala Simpang yang terindikasi sangat lamban memunculkan para tersangka atas kasus ganti rugi bernilai Rp 2,5 miliar, yang melibatkan banyak oknum pejabat eksekutif dan legislatif di Kabupaten Tamiang.

Muzakkir mengingatkan bahwa kasus ganti rugi tanah milik Asiong merupakan kasus besar dan melibatkan banyak oknum pejabat eksekutif dan legislatif di Kabupaten Aceh Tamiang, makanya dia berharap agar jangan lengah dan terus mengawal kasus tersebut sampai tuntas.

"Mantan Kadisperindagkop Aceh Tamiang, telah berani sampaikan secara terang-terangan ke publik bahwa ada yang lebih bertanggungjawab tentang kasus dugaan mark up ini. Kami melihat ada upaya pengalihan isu dari pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar publik lengah dan lupa terhadap kasus ganti rugi tanah milik Asiong. Kemudian kami minta seluruh elemen sipil, LSM, Ormas, Mahasiswa bisa bersatu padu memberangus kasus korupsi dan mark up ini. Demi tuntasnya kasus besar tersebut, LSM KaNA akan turut bergabung dalam barisan pengawal dan kita desak agar pihak Kejari Kuala Simpang segera menuntaskan kasus ini. Bila pihak Kejari masih memperlambat proses penyelidikan kasus itu, maka tidak ada alasan lain bagi kita selain kita demo pihak Kejari Kuala Simpang," tegas Muzakkir.

Sementara itu,  LSM Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) Aceh mengambil langkah nyata dengan menuntut adanya transparansi penanganan kasus dugaan tindak pidana mark up anggaran ganti rugi lahan pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, yang saat ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang. Atas hal tersebut FPRM mengirimkan surat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati Aceh) dengan tembusan ke Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, Sekretariat Jenderal DPR RI (Komisi III DPR RI), Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK), Ombudsman Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang.

Adapun  beberapa hal yang disampaikan diantaranya: pertama agar mengawasi proses penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan dan penuntutan kasus ini sehingga berjalan profesional dan transparan tanpa intervensi dari pihak manapun; kedua meminta kepada Kejaksaan Negeri Kuala Simpang agar memberikan keterbukaan informasi publik atas pemeriksaan kasus dugaan mark up dan tindak pidana korupsi dalam program ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang; ketiga meminta kepada semua pihak agar mendukung indepensi Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dalam menangani kasus ini, supaya memberikan transparansi, dan kepastian perkara ini kepada masyarakat; dan keempat meminta kepada Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, untuk bekerja cepat dan transparan, baik dalam melakukan penyelidikan ataupun saat penyidikan. 

FPRM mengharapkan ada respon positif untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas. Jangan korbankan seseorang untuk menjadi “Tersangka” demi menyelematkan aktor yang diduga merupakan “Orang Penting” di Pemkab Aceh Tamiang dan DPRK,” demikian pinta Ketua FPRM Aceh, Nasruddin.

Penjelasan Kejari Kuala Simpang

Kasus dugaan mark up lahan milik Suherli alias Asiong untuk lokasi pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, diduga akan menyeret banyak oknum pejabat eksekutif beserta oknum pejabat legislatif di kabupaten setempat. Hingga hari ini, total sudah 33 orang yang diperiksa oleh Tim Penyidik dari Kejari Kuala Simpang. Adapun 33 orang yang diperiksa yakni 6 orang mantan anggota Banggar DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014, 7 orang dari Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, 9 orang dari Disperindagkop, 2 orang dari Bapeda, 3 orang dari DPPKA, ditambah dengan Datok Bukit Rata, Camat Kejuruan Muda, pemilik tanah beserta isterinya dan Ketua AKA Tamiang serta beberapa saksi lainnya.

Namun, hingga saat inipun belum ada tersangka yang ditetapkan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Kejari Kuala Simpang belum dapat menentukan sikap terkait kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan untuk pembangunan pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata, Kecamatan Kejuruan Muda, meskipun pihak Kejaksaan sudah memeriksa para saksi sejumlah 33 orang. Hal ini dikarenakan belum adanya hasil perhitungan (audit_red) kerugian negara dari Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP) Banda Aceh sebagai kelengkapan berkas pada sidang perkara nantinya.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuala Simpang, Amir Syarifuddin. SH, melalui Kasi Intel, Muhammad Arfi, SH, kepada wartawan, Jum'at (2/10/2015), mengatakan hasil perhitungan kerugian negara adalah salah satu berkas yang dipersyaratkan untuk proses penuntutan atau persidangan pada perkara kasus dugaan korupsi. Oleh karena itu, pihak kejaksaan masih menunggu hasil perhitungan tersebut dari BPKP Wilayah Banda Aceh dan selanjutnya berkas perkara itu akan segera dirampungkan.

"Kami masih menunggu hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari BPKP, sementara perhitungan itu adalah kewenangan mereka (BPKP), kapan hasil perhitungan itu ada. Kejari Kuala Simpang sangat serius menangani kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan Asiong. Kasus tersebut adalah salah satu dari tiga kasus korupsi di Tamiang yang sedang diselidiki oleh pihak Kejari Kuala Simpang pada tahun ini. Insya Allah, jika hasil perhitungan dari BPKP Banda Aceh sudah turun maka barulah kita tetapkan para tersangka atas kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan untuk pembangunan gedung pasar tradisional di Kebun Tengah, Desa Bukit Rata," demikian penjelasan Kasi Intel Kejari Kuala Simpang, Muhammad Arfi, SH.[red]
Komentar

Tampilkan

Terkini