IST |
JAKARTA - Sejumlah elemen organisasi masyarakat sipil
menyayangkan leletnya upaya pemerintah merevisi Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal sudah banyak korban berjatuhan akibat
pasal karet UU ITE.
Saat
berbicara dalam dialog Darurat Revisi UU ITE dan Peran Natizen Kawal Demokrasi
yang berlangsung di Bakoel Kopi, Cikini, Jakarta, Senin (30/11/2015),
Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengungkapkan ada 118 netizen yang
menjadi korban pasal karet UU ITE sejak 2008 hingga November 2015.
Dari
jumlah tersebut, 90% merupakan aduan yang terkait pasal pecemaran nama atau
defamasi. Adapun yang diadukan meliputi artis, aktivis, budayawan, jurnalis,
politisi, sosilog, pengamat dan lain.
Sementara
yang mengadu sendiri adalah mereka yang menjadi pejabat publik (kepala desa,
kepala instansi/departemen), kalangan profesi, pemilik dan pemimpin perusahaan
serta sesama warga.
Damar
memaparkan ada empat macam pola yang ditemukan SAFEnet saat persidangan, yakni
motif balas dendam, barter kasus hukum lain, membungkam kritik dan shock
therapy.
Akibat
semua itu, lanjut Damar, menimbulkan dampak serius, mulai dari sisi psikologi
maupun ekonomi.
"Siapapun
yang pernah merasakan terjerat UU ITE akan mengalami efek jera yang berakibat
dirinya merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya lagi. Selain itu makin
berkurangnya narasumber kritis karena mereka dapat dituntut. Bahkan di Aceh
pada awal tahun 2015 ada media menghentikan kegiatannya setelah dituntut oleh
gubernurnya sendiri," jelas Damar.
Karena
itulah ia kembali mendesak pemerintah segera merevisi UU ITE agar tidak memakan
korban lagi. Bila pemerintah tidak serius maka sama saja menghancurkan harapan
para netizen.
"Kalau
tidak serius, maka betapa payahnya sekarang pemerintah saat ini. Di mana mereka
membiarkan naskahnya terlunta-lunta. Padahal netizen sudah berharap ini
diseriuskan dan diselesaikan," pungkasnya.
Sementara
itu di tempat yang sama, pengiat internet dari ICT Watch Donny B.U. melihat
penyusunan naskah revisi UU ITE oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
dirasa belum optimal. Meskipun niat baik sudah dilakukan.
"Kalau
di internal mereka, saya lihat sudah beritikad mendorong revisi UU ITE ini.
Bahkan Menkominfo sendiri, Pak Rudiantara pernah mengatakan jika persoalan ini
menjadi pekerjaan rumahnya," ujar Donny.
"Tapi
kan tata administrasi atau politik tidak segampang itu. Apalagi terjadi
pergantian Menkopolhukam. Namun demikian Menkominfo harus lebih mendorong lagi
agar revisi UU ITE ini bisa dibahas," imbuhnya.
Donny
masih optimistis revisi UU ITE dapat dibahas di akhir masa sidang DPR yang
tertinggal beberapa hari saja. Namun apabila tidak memungkinkan ia berharap
dapat masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
"Semoga
masuk ke Prolegnas 2016. Tapi harus disegerakan agar diutamakan pembahasannya
supaya tidak molor hingga Desember tahun depan," tutupnya.
Adapun
pasal 27 ayat 3 di UU ITE kerap disebut sebagai pasal karet. Di pasal ini
tertuang hal-hal yang dilarang: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". [Detik]