![]() |
\ |
KLOJEN — Bripka Seladi, anggota polisi di Polres
Malang Kota, layak dijadikan teladan. Demi mendapatkan uang sampingan, ia
menyambi pekerjaan menjadi pengumpul sampah.
Selain bisa mendapatkan uang halal dari pekerjaan keduanya,
pria berusia 57 tahun ini juga membantu dalam menciptakan kebersihan
lingkungan.
Bripka Seladi memiliki sebuah gudang sampah di Jalan Dr
Wahidin, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Uniknya, gudang tersebut tidak terlalu
jauh, masih berada di jalan yang sama dengan kantor tempat ia berdinas.
Ketika berdinas menjadi polisi, ia bertugas pada bagian
urusan SIM Kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Polres Malang Kota
yang berada di Jalan Dr Wahidin.
Sebelum kantor itu, berjarak sekitar 100 meter, ada sebuah
bangunan. Jika dilihat dari luar, tidak terlihat tumpukan sampah. Halaman depan
bangunan itu juga terlihat bersih.
Namun, di dalamnya, bau khas sampah menyeruak. Bangunan itu
minim penerangan. Tumpukan sampah yang terbungkus ratusan kantong sampah
plastik berwarna hitam menggunung.
Sebuah lorong sempit disediakan untuk menuju salah satu
ruangan di bagian belakang bangunan itu. Ruangan itu terlihat terang karena
atapnya berlubang. Di ruang itulah, Seladi "berdinas" ketika tidak
bertugas di kesatuannya.
Ia secara telaten memilah sampah. "Tukang
rongsokan," ujarnya terkekeh.
Berbincang dengan Surya, sambil memilah sampah, tidak
terdengar nada minder dalam suaranya. Cara bicaranya mantap diselingi humor.
Ia juga menyelipkan humor ketika ditanya nama lengkapnya.
"Ya hanya Seladi, sela-selane dadi," katanya kemudian tertawa lebar.
Ya, itulah kehidupan Seladi. Seorang polisi sekaligus
pemulung dan pemilah sampah. Seladi menegaskan, pekerjaan sampingannya
menggeluti "bisnis" sampah tidak membuatnya menelantarkan pekerjaan
utamanya. Ia memilah sampah di luar jam dinas.
Delapan tahun Seladi melakoni pekerjaan ganda ini. Empat
tahun pertama, ia memulung sendiri sampah yang hendak dipilahnya.
Bapak tiga anak ini berkeliling kawasan dengan memakai
sepeda onthel. Sepeda onthel itu yang menjadi kendaraannya sejak menjadi polisi
pada 1977.
Pukul 05.00 WIB, ia berangkat dari rumahnya di Jalan Gadang
Gang 6, Kelurahan Gadang, Kecamatan Sukun, ke Mapolres Malang Kota.
Ia mengikuti apel, kemudian bertugas mengatur lalu lintas.
Setelah mengatur lalu lintas, ia berdinas di Kantor Satpas, mengurusi ujian
pencari SIM dan mengurusi administrasi sampai lepas jam dinas. Seusai lepas jam
dinas dan berganti baju, ia menggowes mencari sampah.
"Itu sekitar empat tahun saya lakoni. Kemudian, teman
saya meminjamkan rumah ini. Ini rumah kosong, saya jadikan gudang. Di sini pula
pemilahan dan sortir sampah dilakukan," tutur Seladi.
Proses pemilahan sampah itu melibatkan empat orang, yakni
Seladi, dibantu anaknya, Rizal Dimas, dan dua orang yang ia sebut temannya.
Seladi tidak lagi berkeliling memulung sampah. Setelah
bertahun-tahun, namanya cukup dikenal. Ia telah memiliki tempat pengumpulan
sampah di sekitar Stasiun Kota Baru Malang.
Dari tempat itu, setiap hari terangkut satu mobil pikap
sampah.
"Mobilnya beli juga dari hasil sampah ini,"
katanya.
Sampah-sampah itu kemudian dipilah, apakah jenis botol
plastik, kantong plastik, kardus, dan material lain.
Tertarik bisnis sampah
Lalu, kenapa sampah? "Karena saya melihat, ada orang
yang mengambil sampah di sekitar kantor saya dinas. Kemudian, saya pikir, ada
rezeki di sana. Kalau tidak dipilah, akan banyak sekali tumpukan sampah. Saya
lalu melakoninya, sendiri," ujarnya.
Ternyata, memang benar, sampah menjadi salah satu ladang
rezekinya. "Meskipun tetap masih banyakan gaji polisi," katanya.
Pendapatan dari sampah menambah penghasilan ekonomi di
rumahnya. Ia menyebut tidak banyak. Pendapatan dari sampah sekitar Rp 25.000-Rp
50.000 per hari, jika dihitung per hari.
Pendapatan dari sampah terkumpul seminggu sekali setelah
sampah terjual.
"Yang penting halal, ikhlas, dan terus ikhtiar dalam
melakoninya. Tidak usah peduli omongan orang. Saya tahu, pasti ada yang
mencibir. Kalau ada yang begitu akan saya jawab, 'Saya bisa menjadi seperti
kamu, tetapi apa kamu bisa seperti saya'," katanya.
Karena itu, ia mengaku tidak minder ataupun rendah diri
meskipun setiap hari berkutat dengan sampah. Ia juga tidak jijik memilah aneka
sampah. Ia juga mengaku tidak pernah menderita sakit serius meskipun mencium
bau sampah menyengat setiap hari.
Tolak suap
Ia menegaskan, dirinya tidak mau tergiur meskipun berdinas
di lahan yang selama ini dikenal sebagai lahan "basah" di institusi
kepolisian.
Seladi mengaku tidak mau menerima pemberian orang dengan
tujuan tertentu dalam pengurusan SIM. Kalaupun ada yang memberi di rumah, kata
Seladi, ia meminta sang anak mengembalikan pemberian itu.
Prinsip hidupnya itu ia ajarkan kepada sang anak. Lulusan
SMEA di Malang itu mengajari anaknya, Rizal Dimas (21), etos kerja keras,
halal, dan tanpa perasaan minder.
Setiap hari, sang anak membantunya memilah sampah. Lulusan
D-2 Informartika Universitas Negeri Malang (UM) itu juga tidak jijik memilah
sampah.
"Saya tidak minder memiliki ayah yang polisi, tetapi
juga tukang rongsokan. Ini pekerjaan halal. Saya malah bangga karena ayah
mengajari tentang kerja jujur," katanya. Ketika masih ada anggapan miring
tentang polisi, Rizal berani menyodorkan bahwa sang ayah merupakan polisi yang
patut dicontoh.
Karena itu, Rizal tetap ingin menjadi seorang polisi. Tahun
ini merupakan tahun ketiganya mencoba peruntungan ke kepolisian.
Ia sudah dua kali gagal ketika mendaftar menjadi polisi.
Rizal mengakui, tidak ada bantuan lobi dari sang ayah supaya lolos. Tahun ini,
ia kembali akan mendaftar.
Sementara itu, salah satu pekerjanya, Yani, melihat Seladi
sebagai sosok yang ulet dalam bekerja. "Bapak itu kalau tidak dinas ya
bekerja di sini. Kalau ada tugas ngepam (pengamanan, red), kayak ngepam Arema
tanding kemarin, ya tidak bisa nyortir sampah," ujarnya. [Kompas]