IST |
JAKARTA -
Kelapa sawit saat ini merupakan komoditas yang amat menjanjikan guna mendukung
pertumbuhan perekonomian, terutama di Indonesia. Apalagi dengan kondisi semakin
menipisnya sumber minyak bumi dan gas di dunia, pasar global kini semakin
membidik kelapa sawit.
“Tak ada alasan Pemerintah
Indonesia untuk berpihak pada pengembangan industri kelapa sawit nasional,” demikian
diungkapkan ekonom dari Universitas Nasional sekaligus Direktur Eksekutif
Lembaga Kajian Strategis Ekonomi Internasional, Ferdiansyah Ali, Kamis (10/11/2016).
Menurutnya, pasar
internasional kini sadar bahwa sumber minyak bumi dan gas terus berkurang
produksinya, harganya pun tak menentu. Minyak sawit menjadi salah satu sumber
yang menguntungkan dari aspek kebutuhan dan harga. Nah, itu mulai dibidik
sekarang dan jadi perebutan kepentingan global.
Dia menyebutkan, prospek
perkebunan kelapa sawit harus diakui berada di Indonesia, Malaysia dan beberapa
negara di Afrika. Banyak negara-negara, terutama di wilayah Eropa, yang
berusaha menaruh kepentingannya di tiga kawasan penghasil kelapa sawit tadi
agar ke depannya mendominasi pasar global. Apalagi kelapa sawit selain sebagai
sumber energi baru, adalah bahan baku dari sekitar 50% produk pangan, kosmetik,
dan kebutuhan dasar lainnya.
"Pemerintah Indonesia
jangan lengah dengan kepentingan negara-negara lain di tingkat global.
Kebijakan yang menguntungkan harus diberikan ke industri sawit nasional.
Cadangan minyak bumi dan gas kita juga semakin berkurang, sudah saatnya
menjadikan kelapa sawit sebagai basis prioritas penerimaan negara," tutur
Ferdiansyah.
Dia meminta agar
pemerintah terus mengampanyekan ke kancah internasional bahwa pengelolaan
kelapa sawit Indonesia tidak menganggu stabilitas alam berdasarkan fakta dan
data akurat. Selain itu, juga perlu disampaikan bahwa Indonesia siap
berkerjasama dalam perdagangan kelapa sawit global guna kepentingan ekonomi
nasional.
"Namun yang harus dicatat
bahwa tetap pasokan kebutuhan dalam negeri harus lebih besar daripada
ekspor," ucap Ferdiansyah.
Banyak bentuk yang
dilakukan negara-negara global dalam kepentingan ekonominya di sektor kelapa
sawit, khususnya Indonesia sebagai produsen. Fediansyah mencontohkan, tekanan
mengubah kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) ke Rountabel for
Suistanable Palm Oil (RSPO) adalah salah satunya.
"Kalau kebijakan
diubah kan Indonesia akan terganggu industri kelapa sawitnya sehingga tidak
mampu bersaing di level perdagangan global. Pada akhirnya, harus bernegosiasi
ekonomi politik dengan negara asing kemudian membuat kita di bawah dominasi
mereka," kata Ferdiansyah.
Sebelumnya, Badan
Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) merilis data bahwa ekspor kelapa sawit
nasional Januari hingga Agustus 2016 mencapai 28 juta ton ke sebanyak 26
negara. Jumlah tersebut semakin meningkat dibandingkan dengan periode yang sama
tahun lalu hanya menembus ekspor ke 13 negara.
Diketahui, industri kelapa
sawit Indonesia memang kerap di kampanyekan tidak ramah lingkungan oleh LSM
asing. Tetapi berdasarkan data Kementerian Luar Negeri tentang daftar resmi LSM
luar negeri yang beroperasi dan bekerjasama dengan pemerintah tahun 2016, isu
dilontarkan LSM tersebut justru berasal dari lembaga tidak terdaftar.[Rls]