-->








Wali Nanggroe Bak Mata Ureueng Aceh?

16 November, 2018, 19.05 WIB Last Updated 2018-11-16T12:12:37Z
LEMBAGA Wali Nanggroe adalah lembaga yang sifatnya khusus (istimewa) dan berwibawa. Lembaga ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat adat Aceh, dalam menjaga kesatuan dan kelestarian nilai-nilai luhur budaya setempat yang kental dengan syariat islam.

Lembaga Wali Nanggroe, lahir dari proses perdamaian melalui meja perundingan antara RI dan GAM di Swedia, yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia Marthi Ahti Saari. Selanjutnya catatan penting dari hasil perdamaian abadi antara RI dengan GAM yang tertuang dalam MoU Helsinky, adalah dilaksanakannya pembangunan Aceh secara damai, berkelanjutan, menyeluruh dan bermartabat bagi semua.

Kepentingannya adalah untuk rakyat Aceh. Pembahasan dan pembahasan khusus tentang Lembaga Wali Nanggroe, dalam MoU Helsinky, terdapat pada poin 1.1.7. bunyinya: Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat. Untuk seterusnya akan dituangkan dalam peraturan pemerintah Aceh, terdapat dalam poin 1 tentang pembentukan peraturan perundangan Aceh.

Dalam hukum positif, pengaturan tentang wali di Aceh secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pasal 96 ayat 1. Bunyinya Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu yang independen, berwibawa dan berwenang membina, mengawasi penyelenggaraan kehidupan, lembaga-lembaga adat, adat istiadat dan pemberian gelar/derajat lainnya.

Untuk menjalankan fungsi dan kewenangannya, Wali Nanggroe terdapat pada pasal 96 ayat 3. Bunyinya: Lembaga Wali Nanggroe dijalankan atau dipimpin oleh seorang wali yang bersifat personal dan independen. Dalam menjalankan tugasnya Wali Nanggroe terdapat dalam pasal 97 bunyinya: Wali Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat kepada perseorangan, atau lembaga baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan cara-caranya di atur dengan qanun Aceh.

Secara teknis yuridis tentang Wali Nanggroe Aceh, diatur dengan Qanun Aceh nomor 8 tahun 2012, secara independen, konsisten dan koheren serta sinergis dengan fungsi pembangunan hukum, serta melindungi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat Aceh yang masih hidup.

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe dalam sistem hukum tata Negara Indonesia, selaras dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen pasal 18 B ayat 1 bunyinya: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 2 bunyinya: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dengan perkembangan masyarakat Republik Indonesia. Pengaturan Lembaga Wali Nanggroe dalam UUPA No. 11 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Aceh tidak bertentang secara hirarkis perundang-undangan yang berlaku.

Selaras dengan asas hukum umum yang bersifat lex superior derogat legi inferior. Serta sesuai dalam kontek kearifan lokal (local wisdom) melalui asas (lex specialis derogot legi generalis). Pengukuhan Lembaga Wali Nanggroe di Aceh, sebagai bukti hadirnya negara secara hukum untuk menghormati dan melindungi tradisi sejarah, hak-hak tradisionil dan adat istiadat masyarakat di Aceh yang mencerminkan kebutuhan hukum terkini. 

Keberadaan Wali Nanggroe yang bersifat khusus dan istimewa juga dianggap sebagai stabilitas politik hukum pemerintahan pusat di daerah dalam fungsi ketertiban hukum, dengan tujuan terbinanya keadilan lahir dan bathin bagi rakyat Aceh dalam bingkai NKRI. 

Sehubungan dengan adanya usulan, pergantian Wali Nanggroe Aceh yang ke-9, pada pertengahan bulan Desember akhir tahun 2018 dan ada juga berpendapat yang mengatakan di 2019 nanti.

Hal tersebut, silahkan saja dimusyawarahkan oleh rakyat Aceh dengan memberikan masukan dan pertimbangan dibawah kepemimpinan Paduka Yang Mulia AlMukaram Maulana Al Mudabbir Al Malik Mahmud Al Haythar. Karena hal tersebut juga telah diatur dalam qanun nomor 8 tahun 2012 (pasal 70). Selanjutnya, dalam rangka pembangunan Aceh yang meuadab kedepan, Lembaga Wali Nanggroe diharapkan agar benar-benar berfungsi dan berperan aktif ditegah-tengah masyarakat Ban Sigoem Aceh.

Hal tersebut penting juga dilakukan untuk menepis kecurigaan dan anggapan bahwa Lembaga Wali Nanggroe hanya milik golongan tertentu saja. Bak lembaga bayangan, antara ada dan tiada untuk rakyatnya. Kalaulah Wali Nanggroe tidak pernah hadir ditengah-tengah masyarakat, tentulah masyarakat pun tidak pernah salah menilainya, tidak akan hadir dihatinya karena dianggap bukan miliknya.

Perlu diingat bersama, bahwa kehadiran Lembaga Wali Nanggroe, fungsi utamanya adalah mempersatukan masyarakat Aceh, supaya lestari adatnya dan bersatu masyarakatnya. Karena itu, hindari pemahaman, bahwa Wali Nanggroe hanya menjadi milik golongan tertentu (kekeluargaan/kekerabatan) saja yang dapat menikmati akses. Akan tetapi jadikanlan Wali Nanggroe benar-benar menjadi milik seluruh masyarakat Aceh dan perlu diperkuat keberadaannya dengan cara musyawarah.

Penulis: Badri Hasan, M.H (Dosen Hukum Tata Negara, Fak. Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh/Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini