-->








Ini Daftar Juara Debat Perempuan Pemimpin dan Debat Aparatur Gampong se-Kecamatan Lhoknga dan Leupung

14 Maret, 2019, 09.00 WIB Last Updated 2019-03-14T02:00:57Z
ACEH BESAR - Lebih dari 50-an warga bersama aparatur dari lima gampong se-Kecamatan Lhoknga dan Leupung, Aceh Besar ikut berpartisipasi dalam kegiatan Debat Perempuan Pemimpin dan Debat Aparatur Gampong yang diselenggarakan di ruang UDKP Kantor Camat Lhoknga, 10-11 Maret 2019 lalu. Kegiatan ini difasilitasi oleh Solidaritas Perempuan (SP) Bungoeng Jeumpa Aceh dalam rangka memeriahkan Peringatan Hari Perempuan Sedunia. 

Berdasarkan aiaran pers hari ini, Selasa (13/03/2019), di hari pertama, Minggu (10/03/2019), diadakan Debat Perempuan Pemimpin dengan tema 'Merebut ruang politik perempuan di akar rumput' yang menghadirkan peserta tiga orang perempuan dari lima gampong, yakni Gampong Naga Umbang, Lambaro Seubun, Meunasah Lambaro, Meunasah Moncut dari Kecamatan Lhoknga, serta Gampong Deah Mamplam dari Kecamatan Leupung, Aceh Besar. 

Kegiatan ini dibuka oleh Camat Lhoknga Drs. Syarbini, MM. Dalam kata sambutannya menyatakan dukungan terhadap kegiatan ini untuk meningkatkan kapasitas perempuan dan pentingnya keterlibat perempuan dalam struktur tuha peut gampong. Di Aceh Besar sudah ada geuchik perempuan di Seulimum dan Darussalam. Karena dalam undang-undang telah mengatur hal tersebut. Namun dalam faktanya terkadang sulit bagi perempuan ikut terlibat dalam urusan gampong karena rapat-rapat dilakukan di malam hari. 

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Bungoeng Jeumpa Aceh Perempuan Aceh Elvida, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian kerja-kerja pendampingan yang selama dilakukan di 6 wilayah. Kesempatan ini juga merupakan wadah silaturrahmi untuk berbagi pengalaman serta pengetahuan mengenai hal-hal yang sudah dilakukan dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan. 

Adapun dewan juri dalam debat tersebut, yaknj Suraiya Kamaruzzaman (Majelis Balai Syura Inong Aceh), Taufik Riswan (Pemuda Muhammadiyah), Zulfikar Arma (Sekretaris pelaksana JKMA), Fatimah Syam (Dosen Fakutas Usuluddin  UIN Ar-Raniry).

Adapun beberapa persoalan yang diangkat, yaitu terkait mekanisme penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tingkat gampong, keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di gampong dan kepimpinan perempuan.

Dalam penanganan kasus kekerasan misalnya, hampir seluruh peserta bersepakat bahwa setiap korban pelecehan seksual seharusnya tidak boleh diusir dari gampong. Pemerintah gampong harusnya memprioritaskan penyusunan qanun gampong yang isinya memuat mekanisme penanganan dan perlindungan terhadap korban kekerasan. 

Selain itu, aturan qanun itu nanti juga akan berfungsi untuk membentengi masyarakat dari tindakan main hakim sendiri, yang berujung pada perbuatan kriminal lain. Kemudian, peserta juga mendorong perlunya rumah aman bagi korban kekerasan yang disediakan oleh pihak gampong. Konsep rumah aman yang dimaksud adalah tempat perlindungan sementara bagi korban, sampai masalah kekerasan itu diselesaikan oleh aparatur gampong.

Mengenai keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat gampong, beberapa peserta perempuan dalam debat tersebut mengaku mereka jarang dilibatkan dalam rapat-rapat gampong, dengan serangkaian pertimbangan, salah satunya rapat yang kerap diadakan di malam hari. Situasi demikian membuat perempuan sulit berpartisipasi dalam membahas persoalan gampong. 

Jika pun mereka terlibat dalam rapat, tapi pendapat mereka tidak didengar. Maka dari itu, para peserta debat berpendapat, perempuan wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu, setiap usulan yang diajukan perlu diakomodir oleh pemimpin gampong. Perlu ada rapat-rapat khusus yang membahas usulan-usulan perempuan, dimana hasilnya dibawa ke rapat umum gampong. Usulan itu diharapkan tetap diakomodir hingga ke tahap Musrenbangdes.

Terkait kepemimpinan perempuan, dewan juri mengajukan beberapa kasus untuk dijawab peserta. Antara lain, pendapat mereka mengenai peluang bagi warga perempuan untuk menjadi tuha peut gampong. Dalam hal ini, peserta berpendapat bahwa setiap warga perempuan, apapun asal sukunya, jika ia telah menjadi penduduk tetap di suatu gampong, maka ia berhak diberi peluang menduduki jabatan tersebut. Apalagi, dalam Qanun kabupaten Aceh Besar nomor 11 tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong, ditegaskan pada pasal 42 ayat (2) struktur Tuha Peut 30 persennya berasal dari kaum perempuan. Siapapun yang berkompeten, ia berhak dipilih menjadi Tuha Peut.

Debat Aparatur Gampong
Keesokan harinya, Senin (11/03/2019) kegiatan dilanjutkan dengan Debat Aparatur Gampong dengan tema 'Inovasi dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan oleh aparatur gampong'. Pada debat kali ini, masing-masing gampong mewakilkan sejumlah aparatur gampong, seperti geuchik, sekretaris desa, tuha peut, tuha lapan, kaur pemerintahan dan lainnya.

Perdebatan tersebut masih membahas tema yang sama dengan peserta. Hanya saja, kali ini peserta dari aparatur gampong diminta memaparkan apa saja kebijakan dan sikap yang telah dan akan mereka ambil, menyikapi masalah-masalah tersebut.
Bicara kepemimpinan perempuan, misalnya, beberapa aparatur tidak sepenuhnya mendukung kepemimpinan perempuan. Hal itu didorong beberapa faktor, adanya penafsiran agama bahwa perempuan tidak pantas memimpin.

Dewan Juri mengajukan pertanyaan berkaitan dengan pengeloaan sumber daya alam di Aceh yang melimpah, jika ada perusahaan yang didirikan di gampong apa yang harus dilakukan oleh aparatur gampong. Tanggapan para aparatur akan meninjau terlebih dahulu apakah perusahaan tersebut memenuhi syarat atau tidak sesuai amdal, ramah lingkungan  serta meminta warga tersempat menjadi karyawan menurut tingkat pendidikannya. Namun penting sekali juga melihat jangan sampai masyarakat di rugikan tetapi menguntungkan bagi perusahaan.

Pembahasan yang lain berkaitan dengan kasus perkosaan. Sebahagian pandangan aparatur gampong kejadian tersebut diakibatkan karena pakaian perempuan menggoda, namun pendapat lain bahwa korban perkosaan harus mendapatkan perlindungan karena peristiwa tersebut sangat merugikan korban dan perlu penanganan secara serius karena berdampak pada psikologi korban. 

Diakhir sesi, Dewan Juri memberikan pandangan bahwa  pelecehan seksual dan perkosaan terjadi bukan karena perempuan menggoda, bukan pakaiannya. Tapi di ranah domestik, di rumahpun hal tersebut dapat terjadi, oleh pamannya atau ayah tiri. Bahkan di berita pelakunya guru ngaji, dimana santri berpakaian rapi berjilbab. Hal ini penyebabnya ketimpangan relasi, pelakunya berkuasa, apalagi posisi korban sebagai anak belum paham. Kasus pelecehan seksual tidak ada ranah penyelesaian di gampong, masuk ke ranah pidana. 

Kegiatan debat untuk kelompok perempuan pemimpin di menangkan oleh Juara I Gampong Naga Umbang, juara II Gampong Moncut dan juara III Gampong Lambaro Seubun. Untuk kategori Aparatur gampong dimenangkan oleh Gampong Deah Mamplam sebagai juara I, gampong Meunasah Lambaro juara II dan Gampong Moncut juara III.[*/Red] 
Komentar

Tampilkan

Terkini