-->








Penistaan Agama Masa Hindia Belanda, Sebut ‘Gusti Kanjeng Nabi Suka Mengisap Opium’

18 Mei, 2019, 06.04 WIB Last Updated 2019-05-17T23:04:01Z
SURABAYA - Tuduhan terhadap kasus penistaan agama ternyata bukanlah hal baru. Ketika nasionalisme Indonesia mulai bangkit, isu ini pernah mencuat dan menggemparkan aktivis pergerakan di Hindia Belanda, terutama di tanah Jawa.

Peristiwa tersebut terjadi tahun 1918 ketika pemerintahan kolonial diperintah oleh Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum. Pada masa ini, kebijakan pemerintah dijalankan dengan cara yang sangat berbeda dengan gaya pemerintahan (penjajahan) masa-masa sebelumnya.

"Hindia tidak seterusnya dapat menjadi jajahan Belanda dan otonomi yang lebih besar bagi Hindia akan melayani kepentingan negeri induk (Kerajaan Belanda, red)," tulis Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997: 127).

Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengusulkan pembentukan Dewan Kolonial. Ia juga mendukung kampanye-kampanye tentang volksvertegenwoordiging (perwakilan dalam parlemen) dalam Volksrrad (perlemen Hindia Belanda) yang disuarakan oleh Budi Oetomo (BO) dan Central Sarekat Islam (CSI).

Perwakilan dalam parlemen tidak hanya bagi orang Belanda tetapi juga melibatkan kaum bumiputra dengan cara evolusioner dan hal ini sudah disetujui Perlemen Belanda sejak tahun 1916.

Hanya saja, anggota perwakilan bumiputra dibatasi hanya 15 orang, sepuluh dipilih, dan lima lainnya ditentukan gubernur jenderal. Bagi aktivis muda yang berpikiran radikal, situasi ini dianggap sebagai "komedi".

Bagi HOS Tjokroaminoto yang kala itu menjabat ketua CSI, juga senada dengan pemimpin BO maupun Insulinde, menganggap bahwa Volksraad merupakan sebuah langkah maju menuju pemerintahan sendiri, sehingga perlu didukung.

Namun, pendapat Tjokroaminoto justru mendapat kritikan pedas dari anggota SI cabang terutama dari kelompok yang berpikiran radikal seperti Semoaen. Gaya perjuangan Tjokroaminoto yang berusaha tampil secara ksatria dan kerjasama dengan pemerintah kolonial dianggap terlalu lembek.

Kaum muda SI memilih berjuang dengan cara-cara lebih keras seperti mengorganisir buruh, melakukan pemogokan buruh, dan lain sebagainya.

Dalam pertarungan politik dan perebutan pengaruh inilah kemudian muncul berita yang menghebohkan masyarakat Hindia Belanda.

Pada 11 Januari 1918, surat kabar Djawi Hiswara yang bermarkas di Surakarta mengangkat artikel berjudul "Pertjakapan Marto dan Djojo" karya penulis bernama Martodharsono.

Di dalam artikel tersebut terdapat pernyataan "Gusti Kandjeng Nabi Rasoel Minoem A.V.G. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium" (ejaan sesuai aslinya).

Tjokroaminoto yang dari awal menghimpun kekuatan dengan daya tarik Islam dan kala itu sedang menggalang kekuatan baru dari kalangan putihan, serta merta seperti mendapat kesempatan emas.

"Artikel itu memberikan kesempatan emas bagi Tjokroaminoto untuk melakukan tiga hal: memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memedulikan Islam, menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang, dan menggerakkan SI-SI yang terbengkalai di bawah kepemimpinannya dalam semangat membela Islam," tulis Shiraishi (halaman 144).

Akhir Januari, Tjokroaminoto bersama Hasan bin Semit, pemimpin Al Irsyad Surabaya dan juga komisaris CSI berkeliling ke Surabaya untuk menggalang massa dengan mengangkat isu penistaan agama seperti dimuat dalam Djawi Hiswara.

Tjokroaminoto juga mendapat dukungan dari adiknya, yakni Abikusno Tjokrosujoso yang memanfaatkan Oetoesan Hindia, koran milik SI Surabaya, untuk mendorong agar Martodharsono selaku hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Djawi Hiswara segera diadili dan dihukum.

Abikusno Tjokrosujoso juga menuntut agar Susuhunan Pakubuwono X selaku Raja Surakarta dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia segera menindak Martodharsono karena dianggap telah melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan Islam.

Kritik dan tanggapan yang digelorakan SI, akhirnya sampai ke telinga Martodharsono yang kemudian berusaha menjernihkan situasi. Dalam terbitan Djawi Hiswara tanggal 4 Februari 1918, ia menyatakan bahwa ia tidak bermaksud melecehkan Nabi Muhammad SAW.

"Dalam percakapan itu, bukan nabi kita SAW, Kandjeng Nabi Mohammad Rasul Allah, tetapi rasulnja orang masing-masing. Jadi, siapa yang bercakap, ialah yang mempercayainya," jelas Martodharsono.

Bantahan tersebut tidak berdampak apapun. Ia sudah terlanjur dianggap telah menodai Islam dan menyakiti umat muslimin. Tuntutan pengadilan baginya pun tidak tanggung-tanggung.

Pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto membentuk Komite "Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum Muslimin". Kunci TKNM adalah dua kata yakni "tentara" sebagai simbol militansi dan "Muhammad" sebagai lambang persatuan.

Kemudian pertemuan akbar di Jawa dan di Sumatera digelar. Pada 6 Februari 1918, pertemuan akbar yang digelar di Surabaya berhasil menghimpun dana lebih dari 3.000 Gulden.

Kemudian kunjungan berantai dan aksi protes yang diadakan secara serentak pada 24 Februari 1918 di 42 tempat di Jawa dan Sumatera berhasil menggerakkan 150.000 orang serta berhasil mengumpulkan dana lebih dari 10.000 Gulden.

Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Yogyakarta. Aksi tersebut juga berhasil membangkitkan sejumlah SI daerah.

Massa SI di Semarang tidak antusias mendukung aksi Tjokroaminoto. Hal ini ada sebabnya. Semaoen dan Mohammad Jusuf adalah elite SI Semarang dan merekalah yang pada masa-masa sebelumnya mengritik kepemimpinan Tjokroaminoto.

Semaoen dan Mohammad Jusuf lebih memilih melanjutkan mengorganisir buruh dan melakukan aksi mogok kerja ketimbang mendukung Tjokroaminoto yang mengangkat isu anti-Islam.

Karena situasi semakin memanas, Komisaris Negara untuk Urusan Bumiputera dan bangsa Arab, BJO Schrieke akhirnya turun tangan. Ia kemudian melaporkan perkara itu serta menyampaikan analisisnya kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.

Dalam laporan itu, Schrieke menyebut bahwa aksi mobilisasi massa menuntut pihak yang dianggap anti-Islam juga digunakan Tjokroaminoto untuk menyerang lawan politiknya yang dulu pernah menjadi elite SI seperti Samanhoedi, Martodharsono, dan Sosro Koornio.

Sementara itu pada 17 Februari 1918, TKNM Surabaya berhasil mengadakan pertemuan lagi yang dihadiri lebih dari 35 ribu orang dan melahirkan mosi untuk menuntut Gubernur Jenderal van Limburg Stirum dan Sri Susuhunan Pakubuwono X di Kraton Kasunanan Surakarta, serta Residen Surakarta.

Secara garis besar, isi mosi masih tetap sama dengan sebelumnya yakni berisi pernyataan sikap dan kemarahan umat muslimin, serta mengutuk tulisan Djawi Hiswara yang telah melecehkan dan menghina Nabi Muhammad.

Anehnya, respons pemerintah kolonial ternyata bukan membawa Martodharsono ke pengadilan. Tuntutan tersebut ditempatkan sebagai tuntutan seolah SI meminta perwakilan di dalam Dewan Rakyat.

Gubernur Jenderal mengeluarkan keputusan yang cukup mengejutkan. Seperti tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 2, tertanggal 23 Februari 1918, disebutkan bahwa Tjokroaminoto dinyatakan sebagai anggota Dewan Rakyat dalam Volksraad.

Keputusan itu membuat Haji Misbach yang sebelumnya mendukung TKNM sangat kecewa. Ia berharap TKNM berkembang menjadi kekuatan Islam yang militan. Ternyata TKNM seolah hanya menjadi alat menyukseskan Tjokroaminoto menjadi anggota Dewan Rakyat.

Konon, pengangkatan tersebut tidak langsung diterima Tjokroaminoto bahkan ia juga mendapat kritik dari SI Cabang terutama SI Semarang yang sejak awal menolak keikutsertaan SI ke Dewan Rakyat buatan Kolonial Belanda.

Kekisruhan itu kemudian diatasi dengan rapat internal SI pada 20 Maret 1918. Dari 58 cabang SI, 28 cabang menyatakan setuju dan mendukung masuknya Tjokroaminoto sebagai wakil SI . Sementara itu, 26 cabang lainnya menyatakan tidak setuju, 1 suara abstain serta 3 suara tidak sah.

Rapat itu ternyata semakin memuluskan keanggotaan Tjokroaminota di dalam Dewan Rakyat.

Setelah Tjokroaminoto berada dalam dewan, tuntutan agar Martodharsono dan Djawi Hiswara dibawa ke pengadilan yang sempat menggemparkan itu perlahan menguap. Nasib TKNM pun juga sama, perlahan-lahan menyusul ikut hilang dan senyap di tengah rimba belantara sejarah.[Netralnews] 
Komentar

Tampilkan

Terkini