-->




Jejak Nista Panjat Pinang Rendahkan Martabat Pribumi

16 Agustus, 2019, 06.22 WIB Last Updated 2019-08-15T23:22:48Z
JAKARTA - Entah memang sengaja dipertahankan atau entah karena tak sadar. Yang jelas, hingga kini, panjat pinang masih rutin diadakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Sebagian beranggapan bahwa kegiatan semacam itu ditujukan untuk memaknai arti perjuangan para pahlawan. Dengan belepotan oli anak-anak berlomba meraih hadiah, diibaratkan layaknya prosesi meraih impian kemerdekaan.

Ironisnya, simbol perjuangan yang mereka sebutkan ternyata tidak berbanding lurus dengan asal-usul bagaimana prosesi panjat pinang dahulu diadakan oleh bangsa Belanda tatkala masih bercokol di Nusantara.

Penggambaran bagaimana panjat pinang dahulu diselenggarakan, sebenarnya pernah digambarkan secara vulgar dalam SInetron "Para Pencari Tuhan" karya Deddy Mizwar. Salah satu adegan dalam sinetron itu mengisahkan seorang tokoh yang ingin merayakan HUT RI dengan Panjat Pinang.

Namun, usulan tersebut tidak disetujui karena Panjat Pinang sebenarnya merupakan hiburan orang-orang Belanda yang sarat dengan unsur menistakan kaum bumiputra.

Catatan ini sebenarnya sudah sering diungkap. Prosesi panjat pinang pada hakikatnya adalah wajah sejarah tentang penindasan kaum penjajah terhadap bangsa pribumi yang dahulu digolongkan sebagai kaum bumiputra.

Lomba panjat pinang diperkirakan lahir sekitar tahun 1920-an. Kegiatan ini sering digelar di Batavia saat keluarga Belanda kaya merayakan pesta pernikahan. Panjat pinang dianggap menjadi salah satu pertunjukan yang menghibur.

Dalam catatan Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia Indonesia, disebutkan bahwa panjat pinang merupakan adaptasi dari permainan serupa asal Belanda yang bernama "De Klimmast".

Sayangnya, di negeri asalnya, permainan tersebut tidak laku. Mungkin bangsa Belanda sudah sadar lebih dulu dan tidak mau diperlakukan sebagai manusia konyol dan menjadi bahan tertawaan atau direndahkan.

Berbeda dengan di Batavia. Pertunjukan ini ternyata laku. Kaum pribumi mau menjadi peserta lomba sementara tuan-tuan Belanda duduk manis sambil tertawa-tawa melihat orang pribumi saling pijak berusaha merebut sekarung makanan yang digantung di pucuk pinang.

Tak heran bila kalangan sejarawan menganggap tradisi ini penuh dengan bentuk pelecehan yang dilakukan kaum penjajah terhadap kaum pribumi.

Dahulu, kaum pribumi mau ditertawakan dengan menjadikan dirinya bergelimang lumpur dan oli demi hadiah yang tak seberapa bagi tuan Belanda namun sangat berharga bagi rakyat jelata.

Bagi kaum penjajah, itulah hiburan yang bisa mengundang tawa. Bahan makanan seperti keju, gula, serta pakaian (kemeja), adalah barang murah bagi kaum Belanda tetapi menjadi barang mewah bagi kalangan pribumi.

Hanya dengan merendahkan dirinya, maka lkaum pribumi baru bisa merasakan enaknya keju. Orang Belanda tertawa terpingkal-pingkal karena makanan yang biasa bagi mereka harus diperebutkan kaum pribumi dengan membuat dirinya seperti monyet bergelantungan dan belepotan oli menyerupai badut.

Anehnya, sejarah asal-usul panjat pinang yang terang benderang seperti ini masih belum juga membuat bangsa Indonesia mengganti model peringatan lain yang mungkin lebih bermakna ketimbang merawat jejak nista merendahkan martabat kaum pribumi.

Mereka yang mendukung agar prosesi seperti itu dipertahankan menjadi tradisi HUT RI berpendapat bahwa prosesi panjat pinang terkandung nilai-nilai luhur seperti kerja keras, pantang menyerah, dan gotong royong. Nilai itu dianggap baik bagi pendidikan anak, bahkan diajarkan berbangga hati bila menang.[Netralnews]
Komentar

Tampilkan

Terkini