-->








Dibalik Bayang-bayang Pelanggar HAM, Pantaskah Wiranto Menjadi Ketua Wantimpres?

15 Desember, 2019, 19.45 WIB Last Updated 2019-12-15T14:41:21Z
IST
PELANTIKAN Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2019-2024 dilaksanakan di Istana Negara pada Jum'at, 13 Desember 2019 pukul 14.30 WIB. Sembilan Anggota Wantimpres dilantik oleh Presiden Joko Widodo berdasarkan track record yang dimiliki masing-masing anggota. Pasal 16 UUD 1945, Undang-Undang No.19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Pertama kali didirikan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 April 2007. Lembaga pemerintah non struktural memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.

Wantimpres memiliki 9 anggota dan salah satu anggota merangkap menjadi ketua wantimpres. Sebagai lembaga yang memberikan nasihat dan pertimbangan mengenai kekuasaan pemerintahan Negara. Wantimpres tidak diperbolehkan memberikan keterangan, pernyataan dan menyebarluaskan nasihat kepada pihak manapun.

Ada hal menarik, salah satu anggota sekaligus ketua wantimpres yaitu mantan Menkopulhukam Wiranto. Kenapa menarik, mari kita lirik lagi kasus yang menjuluki Mantan Panglima ABRI itu sebagai pelanggar HAM berat di Timor-Timur (sekarang Timur Liste). Tepatnya setelah rezim Orde Baru atau Soeharto, Timor-Timur menginginkan kemerdekaan dengan memisahkan diri dari NKRI. Presiden BJ. Habibie memberikan dua opsi, menerima atau menolak otonomi khusus penuh di Timor-Timur. 

Melalui jajak pendapat, ternyata ditemukan indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan Militer Indonesia. Jajak pendapat yang dilakukan Pemerintah Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Ketakutan pro integrasi akan kemenangan anti integrasi. Dengan dibentuknya mereka beranggapan bahwa mereka harus dihormati. Menurut pro integrasi bahwa jajak pendapat harus diamankan Kepolisian Internasional bukan TNI. 

Kegaduhan yang dilakukan pro integrasi saat jajak pendapat mendapatkan respon TNI yang saat itu mengamankan proses jajak pendapat, hingga bentrok kedua pihak tidak terhindarkan. TNI dituduh melakukan pembunuhan massal, pembakaran, penjarahan, serta berbagai tindak kekerasan lainnya di Timor-Timur pasca jajak pendapat 30 Agustus 1999. 

Wiranto saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI, harus bertanggungjawab terhadap kekerasan yang terjadi di Timor-Timur. Mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto menolak tuntutan pasukan perdamaian PBB. Dengan dukungan PBB, Indonesia membentuk pengadilan sendiri untuk mengadili kasus dugaan pelanggaran berat di Timor-Timur di dalam negeri. 

Presiden dengan persetujuan DPR mengeluarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM AD HOC menangani kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Pengadilan HAM AD HOC mencatat 12 tersangka pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Tidak Terbukti jika Jenderal Wiranto memiliki andil atas kekerasan yang terjadi di Timor-Timur.

Pemerintahan Timor-Timur menuntut agar Mantan Panglima ABRI tersebut bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat dan Dewan Perdamaian PBB memberikan surat tegas untuk mencekal Wiranto bepergian ke Luar Negeri. Masih banyak yang beranggapan bahwa Wiranto sebagai tersangka pelanggar HAM di Timor-Timur. Namun, sebagian masyarakat Indonesia, Timur Leste, bahkan masyarakat internasional masih mempercayai, padahal sudah memiliki bukti. Jaksa atau pengadilan HAM AD HOC sudah membuktikan dengan melakukan pengadilan yang adil dan jujur. 

12 tersangka pelanggaran HAM berat di Timor-Timur tanpa memproses siapa penanggungjawab jabatan tinggi TNI yaitu Panglima TNI saat itu. Pengadilan dan pemerintah sudah melakukan semaksimal mungkin dalam menyelesaikan kasus yang menjadi pusat internasional. Jika kita masih beranggapan bahwa Wiranto harus bertanggungjawab atas peristiwa tersebut, maka sama saja kita tidak mempercayai keputusan pengadilan. Pemerintah juga tidak bisa melakukan pengadilan ulang, itu akan mencemari bukti-bukti pengadilan terdahulu dan kepercayaan masyarakat internasional.

Kemarin Presiden Jokowi melantik sembilan anggota Wantimpres, salah satu anggota sekaligus ketua adalah Mantan Menkopolhukam Wiranto era Jokowi-JK. Dalam pemerintahan, Wiranto sudah mengalami asam-manisnya dunia pemerintahan. Karir militer yang dimiliki sangat gesit, jika dibilang Mantan Panglima ABRI tersebut sangat cemerlang di dunia militer. Karir politik, dimulai pada masa Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam), Calon Presiden di Pilpres tahun 2004 dari Partai Golkar, mendirikan Partai Hanura tahun 2006, Calon Presiden di Pilpres tahun 2009 dan menjabat kembali di era Jokowi-JK sebagai Menkopolhukam.

Dengan diangkatnya Wiranto sebagai Ketua Wantimpres, publik yang masih menganggap Wiranto pelanggar HAM memiliki mosi tidak percaya dengan pengangkatan tersebut karena nasihat dan pertimbangan yang diberikan kepada presiden akan melahirkan kebijakan-kebijakan dibayangi oleh orang yang tangannya berdarah. Kita harus berpikir idealisme untuk menanggapi segala hal, tanpa dasar bukti yang kuat kita tidak bisa mengklaim kesalahannya, ditambah lagi pengadilan sudah memutuskan. 

Pengalaman Wiranto di bidang militer dan karir sipilnya tidak bisa kita anggap remeh, yang menjadikan beliau dipercaya di setiap pemerintahan. Sebagai orang yang mengetahui seluk beluk keamanan/militer, lika-liku politik Indonesia, Wiranto sangat pantas berada di samping Presiden sebagai penasihat dan pertimbangan pemerintahan. 

Dengan menggunakan kacamata militer, beliau bisa dengan cepat memberi tanggapannya mengenai keamanan nasional kepada presiden untuk mempertimbangkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Dengan kacamata politik juga bisa dengan cepat memberikan nasihat kepada presiden, perpolitikan Indonesia sangat dinamis. Kapanpun bisa berubah, teman jadi musuh, musuh jadi teman. Jadi track record Wiranto ini luar biasa, beliau bisa dengan mudah mengetahui situasi Indonesia.

Penulis: Razmi Sartika Jamil (Sebid/Seketaris Bidang Aksi dan Advokasi Himpunan Mahasiswa Politik, Universitas Negeri Islam Ar-raniry, Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini