BANDA ACEH - Gangguan pada sistem transmisi 150 kV antara Binjai dan Pangkalan Brandan, Sumatera Utara pukul 09.38 WIB yang mengakibatkan terganggunya sebagian supply pasokan listrik untuk wilayah Aceh merupakan bukti bahwa Aceh masih sangat tergantung dengan Sumatera Utara terkait listrik.
Suatu pertanyaan di publik sejak lama, Pemerintah Aceh juga PLN Aceh terus menggembor-gemborkan kemandirian energi dengan pengembangan PLTA, PLTU, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu bahkan sampai sumber listrik dari tenaga gas yang berasal dari kotoran lembu. Namun faktanya, sampai hari ini Aceh masih ketergantungan listrik dari Sumatera Utara.
"Jika program itu cuma untuk menjual sumber listrik yang dihasilkan keluar kemudian kita lagi-lagi menjadi konsumen yang netek dengan Sumut, program pembangkit listrik yang menyedot uang tidak sedikit itu tak lebih dari omong kosong," ungkap Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA) kepada media, Senin (03/02/2019).
Menurut KPA, jika sumber pembangkit listrik yang ada di Aceh tidak dikelola untuk kepentingan Aceh secara menyeluruh dan hanya untuk dijual keluar Aceh oleh PLN mendingan proyek-proyek pembangkit listrik di Aceh dihentikan.
"Kita punya potensi yang besar, tapi selama ini potensi itu tidak dikelola dengan baik untuk kepentingan Aceh sehingga lagi-lagi sumberdaya yang ada di Aceh tapi tidak dioptimalkan terlebih dahulu untuk kepentingan Aceh. Inikan miris," ujarnya.
Provinsi Aceh, lanjut Hasbar, sudah diberikan kewenangan besar melalui Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA) untuk mengelola listrik secara otonom. Dimana, manajemen pendistribusian dan pengadaan pembangkit energi listrik bisa dikontrol oleh pemerintah Aceh. Apalagi, provinsi kita dikaruniakan Allah akan berbagai potensi listrik yang melimpah dari berbagai sumber. Tapi, sayangnya peluang dan potensi ini tidak dikelola dengan baik untuk kepentingan Aceh.
Jika kita lihat data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, pada alam Aceh terdapat banyak potensi listrik yang seperti, hydro power (tenaga air) yang terletak di Potensi daya yang tersedia di Jambu Air sebesar 37,2 Mega Watt, Krueng Jambuaye sebesar 181,8 Mega Watt, Krueng sebesar 171,6 Mega Watt, Jambuaye/Bidin sebesar 246 Mega Watt, Krueng Peureulak sebesar 34.8 Mega Watt, W.
Tampur sebesar 428 Mega Watt, Krueng Peusangan 90 Mega Watt, Krueng Jambo Papeun 95,2 Mega Watt, Krueng Kluet sebesar 141 Mega Watt, Krueng Sibubung 121,1 Mega Watt, Krueng Teripa Tiga 172,6 Mega Watt, Krueng Teripa 306,4 Mega Watt, Krueng Meulaboh sebesar 82,1 Mega Watt, Krueng Pameu sebesar 160,6 Mega Watt, Krueng Woyla sebesar 274 Mega Watt, Krueng Dolok 32,2 Mega Watt, Krueng Teunom 288,2 Mega Watt.
Lalu, potensi listrik dari geothermal (panas bumi), total kapasitas potensi daya yang tersedia di Provinsi Aceh sebesar 1.115 MWe. Energi itu terletak di Sabang dengan potensi sebesar 125 MWe, Aceh Besar sebesar 228 MWe, Pidie sebesar 150 MWe, Bener Meriah sebesar 200 MWe, Aceh Tengah sebesar 220 MWe, Aceh Timur sebesar 25 MWe, Aceh Tamiang sebesar 25 MWe, dan Kabupaten Gayo Lues sebesar 142 MWe. Kemudian potensi energi listrik lain juga terdapat pada angin, tata surya (matahari) dan batu bara, yang daya dihasilkan belum diproyeksikan.
Namun demikian, jika diakumulasikan potensi energi listrik dari terbarukan jenis air saja, maka daya yang akan dihasilkan adalah 2862.8 Mega Watt. Belum lagi titik lainnya yang potensial tapi belum didata oleh pemerintah.
"Daya yang mampu dibangkitkan itu sudah melebihi beban puncak saat ini. Tidak hanya itu, potensi energi-energi listrik yang diciptakan Allah SWT melalui biogas (tumbuhan, hewan dan manusia)," imbuhnya.
KPA meminta Pemerintah Aceh bisa mengoptimalkan potensi-potensi ini.
"Namun, perlu digarisbawahi, PLN jangan cuma bisa mengambil sumber energinya di Aceh lalu dijual keluar. Jadi, potensi-potensi yang ada di Aceh wajib digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan Aceh baru dijual keluar. Ini Aceh saja belum cukup tapi sumber energi listrik ini justru dijual keluar, ini aneh," katanya.
Menurut Hasbar, salah satu hal yang perlu diusut dan dipantau secara seksama yaitu apakan selama ini sumber listrik di Aceh masih ada yang dijual keluar atau masih ada kenakalan dalam pengelolaannya.
"Jika persoalan listrik di Aceh terusan-terusan begini yang dirugikan masyarakat Aceh. Apa guna investasi di bidang energi jika masyarakat tak bisa menikmati," sesalnya.
Hasbar menegaskan, jika PLN tetap tidak bisa menangani dan mencari solusi terkait persoalan listrik di Aceh, maka PLN hengkang saja dari Aceh.
"Bentuk saja PLA agar sumber listrik di Aceh benar-benar dipergunakan untuk Aceh terlebih dahulu bukan untuk dijual keluar. Maka alihkan saja manajemen pengelolaan listrik di Aceh dari PLN ke PLA nantinya," pungkasnya.[*/Red]