-->








Pemberlakuan Jam Malam Cegah Covid-19 atau Tebar Paranoid di Aceh?

03 April, 2020, 12.58 WIB Last Updated 2020-04-03T05:58:20Z
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Sejak kasus Covid-19 di Aceh semakin mengkhawatirkan, sepertinya Pemerintah Aceh tidak memikirkan rujukan dulu dalam mengambil kebijakan tertentu. Beberapa saat lalu, Pemerintah Provinsi Aceh mulai Minggu (29/03/2020), memberlakukan jam malam di seluruh wilayah Provinsi Aceh, sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus Corona atau Covid-19. 

"Jam malam diberlakukan hingga 29 Mei 2020 mendatang," demikian kata M.Iqbal, Mahasiswa Ilmu Politik Fisip UIN Ar-Raniry Banda Aceh kepada LintasAtjeh.com, Jum'at (03/04/2020).

Penerapan jam malam di Provinsi Aceh, sebut dia, berdasarkan Maklumat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Aceh tentang Penerapan Jam Malam dalam Penanganan Covid-19. Dalam maklumat ini ditandatangani oleh seluruh unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) diantanya Plt Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh, Kapolda Aceh, Pangdam Iskandar Muda dan Kajati Aceh.

"Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 9/2020 tentang perubahan atas keputusan Presiden nomor 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona COVID-19, Maklumat Kapolri Nomor: MAK/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran virus Corona (Covid-19) dan keputusan Gubernur Aceh Nomor 360/969/2020 tentang penetapan status tanggap darurat skala provinsi untuk penanganan Covid-19," demikian ujarnya mengutip bunyi maklumat tersebut.

Namun, kata dia, pemberlakuan jam malam menuai polemik dan pro kontra di kalangan masyarakat karena Aceh belum termasuk zona merah Covid-19. Mengingat masyarakat Aceh baru saja melakukan rutinitas tanpa adanya paranoid yang berkecamuk hampir puluhan tahun masa 'Darurat Militer' saat konflik antara GAM dan TNI, yang menyebabkan psikologis traumatik mendalam bagi rakyat Aceh. 

"Apalagi melibatkan aparat keamanan yang sebagian ada yang bersenjata lengkap. Dan setiap warga yang keluar bakal di tahan dan 'diinterogasi'. Mereka di tanya seputar aktivitas dan kepentingan keluar saat malam hari. Jika tidak kooperatif menjawab petugas warga akan dipulangkan dan tak bisa keluar malam," ungkap M. Iqbal.

Hemat saya, sambung M. Iqbal, seharusnya Pemerintah Aceh berani mengambil kebijakan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh dan melakukan karantina Orang Dalam Pemantauan (ODP) secara ketat, maka tidak perlu yang namanya jam malam. Dengan seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup. 

"Mengingat semua kasus positif Covid-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia. Jadi itu akar permasalahannya. Untuk menyelesaikan setiap masalah, maka yang harus diatasi adalah akar permasalahannya," kritiknya.

Seharusnya, Pemerintah Aceh lebih baik mengikuti kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat. Dengan kemampuan dana Otsus yang dimiliki saat ini, kata M. Iqbal, maka refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 bisa dioptimalkan.  

"Pemangku kemimpinan sebaiknya mengevaluasi kembali perberlakuan jam malam dan melarang pemberlakuan pemblokiran jalan. Pemerintah harus lebih bijak mengeluarkan aturan, jangan justru melahirkan kepanikan berlebihan di masyarakat. Selain itu juga menghancurkan perekonomian Aceh dan membuat presentase masyarakat miskin aceh akan bertambah," imbuhnya.

"Jika situasi miris ini terus terjadi saya khawatir kesimpulan analisisnya mengarah pada apa yang oleh Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976) disebut sebagai bagian dari biopower. Kehidupan manusia, nyawa manusia ditentukan oleh otoritas kekuasaan subyektif. Lebih mengerikan lagi jika mengarah kepada apa yang oleh Foucalt dinarasikan sebagai diverse techniques for achieving the subjugations of bodies and the control of populations," pungkasnya.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini