-->








Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tak Membuat Penyelenggara Negara Kebal Hukum

21 April, 2020, 14.14 WIB Last Updated 2020-04-21T07:25:26Z
LINTAS ATJEH | JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau  Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 31 Maret 2020.

Kehadirannya membawa polemik di masyarakat terutama adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara. Bahkan sudah ada lembaga yang hendak menggugat Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU.

Anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum tersebut adalah terkait Pasal 27 Perppu 1/2020 Pasal 1, 2 dan 3.

Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.

Untuk melihatnya secara keseluruhan kita lihat satu per satu secara lengkap:

Pertama, Perppu dikeluarkan karena suasana genting dan kebutuhan mendesak

Untuk melihatnya secara keseluruhan Perppu 1/2020 dikeluarkan karena pemerintah menganggap adanya kegentingan yang memaksa disebabkan adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.

Kegentingan yang memaksa adalah timbulnya Pandemi yang disebabkan oleh Corona Virus Desease – 2019 (Covid-19) yang per 12 April 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sudah mencapai 1.775.586 dan dari jumlah itu, sebanyak 108.558 meninggal.

Sementara di Indonesia Sabtu (11/4/2020), jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.842 kasus dan sebanyak 327 meninggal dunia.

Kemudiannya pemerintah mempertimbangkan bahwa Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan.

Dengan pertimbangan tersebut diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

Tiga fokus utama penyelamatan negara dari pandemi Corona tersebut di atas menyebabkan adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun dan anggaran tersebut belum ada dalam APBN 2020.

Tambahan anggaran tersebut diperhitungkan dalam penganggaran dan akan terdapat pembiayaan defisit yang melampaui 3 persen  (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Hal itu tentu saja membuat situasi menjadi mendesak untuk mengganti (sementara) UU Keuangan Negara yang membatasi defisit belanja negara maksimal 3 persen dari PDB.

Selain itu, keadaan mendesak juga diperlukan untuk pemberian kewenangan bagi Pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocusing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi.

Dasar hukum dari kegentingan yang memaksa dan kebutuhan mendesak adalah berdasarkan Pasal 22 ayat UUD 1945 disebutkan bahwa “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Hal yang dianggap genting dan memaksa dalam UUD 1945 tersebut disebutkan parameternya dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam ayat 1 yaitu karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kedua, pemerintah mengeluarkan biaya untuk menyelamatkan negara

Tiga fokus utama dalam menyelamatkan negara dari pandemo Covid-19 adalah keselamatan jiwa dan kesehatan masyarakat, jarring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi bagi yang terdampak. Semua fokus kemudian diwujudkan dalam belanja tambahan dengan total sebesar Rp 405,1 triliun, yang terdiri dari:

a. Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan.

b. Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan Program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina.

c. Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen.

d. Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini dalah biaya ekomomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bias dianggap sebagai merupakan kerugian negara.

APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaiakan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara.

Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi

Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi inilah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 Perppu 1/2020:

“Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau Lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”

Ketiga, pemerintah tidak melindungi mereka yang melaksanakan tugas dengan itikad tidak baik dan tidak sesuai ketentuan peraturan perundangan

Perppu ini dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kebijakan keuangan negara yang mengatur bidang penganggaran dan pembiayaan, bidang keuangan daerah dan bidang perpajakan serta kebijakan syabilitas system keuangan yang mengatur perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sektor Keuangan, penguatan kewenangan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta pemberian pinjaman kepada LPS. Dapat terlihat bahwa Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS adalah pihak yang disebutkan dalam Perppu ini.

Dalam menjalankan tugasnya tentu saja setiap pejabat terkait menjalankannya dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangan.

Dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa "Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana", sementara dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Dengan demikian koridor dalam pelaksanaan Perppu ini jelas bahwa tidak boleh melanggar ketentuan perundangan.

Sehingga Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi:

“Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dapat dibaca bahwa ketentuan tersebut bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka yang melaksanakan dengan itikad tidak baik dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan, tidak termasuk dalam kaategori yang tidak dapat dituntut secara hukum.

Keempat, telah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum

Upaya perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan sesuai undang-undang sudah tercantum juga telah tercantum dalam UU yang lain, Tercatat ada tiga UU lain selain UU KUHP sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Yang pertama adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK).

Dalam Pasal 48 ayat 1 UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal.

Yang kedua adalah UU Pengampunan Pajak atau lebih dikenal denggan Tax Amnesty.
Dalam pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.

Yang ketiga adalah imunitas anggota DPR dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3). Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam pasal 224 UU ayat 1 yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

Dari UU tersebut jelaslah bahwa perlindungan hukum dalam UU bukanlah hal yang baru namun sudah ada dalam UU sebelumnya.

Kelima, Perppu harus memiliki kepastian hukum

Dalam Perppu terdapat berbagai peraturan dan regulasi yang kemudian akan diatur dalam peraturan setingkat Presiden maupun Menteri. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan Perppu, Pemerintah akan menerbitkan berbagai keputusan dan melakukan berbagai tindakan.

Dalam pelaksanaannya, Perppu adalah kebijakan Pemerintah yang diambil untuk mengatasi kondisi yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu Perppu haruslah memiliki kepastian hukum.

Sebagaimana bahwa Perppu yang telah diterbitkan harus diajukan ke DPR pada persidangan berikutnya. Meskipun perppu tersebut  belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari perppu itu sudah ada.

Artinya, Perppu tersebut sudah berlaku, bisa dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan UU. Dengan demikian, berbagai peraturan dan regulasi sudah harus dibuat untuk pelaksanaannya.

Agar memiliki landasan hukum yang pasti dan tetap maka disebutkan dalam Perppu pasal 27 ayat 3 bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Pasal itu digunakan untuk menjaga stabilitas dalam pelaksanaan Perppu.[Kompas.com]
Komentar

Tampilkan

Terkini