-->








Transformasi Politik dari Gerakan Bersenjata Menjadi Partai Politik Lokal Aceh

26 April, 2023, 17.17 WIB Last Updated 2023-04-26T10:17:22Z
ACEH dengan ciri khas daerah yang membuatnya berbeda dari daerah lain yaitu memperoleh keistimewaan dan kekhususan dari pemerintah pusat. Keistimewaan dan kekhususan dari pemerintah pusat tersebut berupa otonomi khusus. Untuk mendapatkan otonomi khusus, Aceh harus melewati konflik berpepanjangan hingga terjadinya pertumpahan darah. Ketidaksesepahaman antara Aceh dan pemerintah pusat merupakan salah satu penyebab konflik. Hal yang melatar belakangi konflik tersebut yaitu pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan peleburan Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan peleburan ke Provinsi Sumatera Utara tersebut tentunya memunculkan sebuah pemberontakan beberapa tokoh masyarakat Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Perdamaian atas pemberontakan itu pun terjadi dengan diberikannya otonomi pada bidang agama, adat, dan pendidikan.

Salah satu konflik besar yang menjadi perhatian dunia adalah perselisihan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal tersebut dilatar belakangi oleh eksploitasi kekayaan Aceh oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) namun tidak memberikan hasil bagi masyarakat Aceh secara adil. Konflik besar itu pun menyebabkan gerakan pemberontakan hingga memakan korban jiwa seperti TNI, anggota GAM, bahkan masyarakat sipil. Akhirnya, pada 4 Desember 1976 pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yaitu Hasan Tiro memprolamasikan kemerdekaan. Hasan Tiro melakukan lobi internasional dengan bergandengan dengan separatis lain seperti Timor-Timor (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS). Selain itu, Hasan Tiro juga berkampanye terkait dekolonisasi Indonesia. Namun gerakan Hasan Tiro tersebut diserang oleh militer yang menyebabkan dia harus membangun kembali gerakan bersenjatanya, tentunya di luar Aceh yaitu Libya. Sebanyak 800 pemuda Aceh dilatih keterampilan militer dan ideologi dalam perspektif Aceh oleh Hasan Tiro.

Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyebabkan pemberlakuan operasi militer bernama Daerah Operasi Militer (DOM). Masyarakat Aceh gencar untuk lepas dari Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut yang membuat pemerintah mencabutnya. Dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) menyebabkan pemerintah pusat mengalami kewalahan akibat gerakan provokasi yang semakin gencar oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut? Tanpa kekerasan, pemerintah pusat perlahan-lahan menelaah permasalahan di Aceh satu persatu dengan berbagai tindakan rehabilitasi sosial. Hal tersebut dikarenakan konflik tersebut menghambat proses pembangunan di Aceh dan menyebabkan masalah kekerasan di dalam masyarakat Aceh. Terjadinya beberapa pergantian presiden Republik Indonesia (RI) merupakan penghambat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh dikarenakan masing-masing presiden mempunyai strategi perdamaian yang berbeda-beda.

Konflik antara pemerintah pusat dan Gerakan Aceh Merdeka akhirnya menemukan perdamaian saat pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan wakil presiden Jusuf Kalla (JK). Konflik itu dapat diredam dengan dilakukanya pertemuan demi pertemuan oleh presiden dan piahk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pertemuan per pertemuan tersebut akhirnya membuahkan hasil yaitu didapatkannya sikap damai dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pertemuan antara presiden dan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), yaitu lembaga yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Athisaari. Perdamaian yang terjadi dikenal dengan istilah MoU Helsinki yaitu pada 15 Agustus 2005.

Adanya MoU Helsinki menandakan bahwa konflik telah berakhir dan sebagai transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tadinya gerakan bersenjata menjadi partai politik lokal di Aceh. Perdamaian dan keamanan pun terwujud bagi masyarakat Aceh. Dalam MoU Helsinki, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diberikan kebijakan dalam hal ekonomi, amnesti, integrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) serta wewenang untuk mendirikan partai politik lokal di Aceh melalui Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Banyak tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menduduki jabatan pemilihan kepala daerah tersebut. Transformasi politik diharapkan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua pihak, terutama bagi masyarakat Aceh.

Kontribusi Partai Politik Lokal Aceh Terhadap Kehidupan Masyarakat Aceh 

Adanya partai politik lokal di Aceh menandakan bahwa demokrasi di Indonesia semakin berkembang. Masyarakat lebih leluasa dalam menyampaikan aspirasinya terutama di bidang politik melalui partai-partai politik lokal tersebut. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Aceh belum merasakan aspirasinya terwakilkan padahal banyak pihak partai politik Aceh yang sudah berkontribusi dalam pemerintahan di Aceh. Aceh dipercaya untuk memimpin daerahnya sendiri dan diberi kebebasan untuk mendirikan partai politik lokal namun tidak ada perubahan setelah Aceh dipimpin oleh orang-orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam bidang ekonomi dan politik, partai politik lokal Aceh belum berkontribusi untuk kemajuan masyarakat Aceh secara optimal. Partai politik lokal tersebut justru terlibat korupsi bantuan sosial dan intimidasi terhadap sebagian masyarakat terkait pemilihan kepala daerah.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

​Korupsi yang terjadi di Aceh menggambarkan bahwa pihak pemerintahan yang berasal dari partai politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak mengutamakan kepentingan masyarakat Aceh namun hanya mengutamakan kepentingannya sendiri dengan semakin memperkaya diri sendiri. Elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut hanya memperebutkan kursi kekuasaan yang ada di Aceh. Kekecewaan terhadap elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun terjadi. Hal tersebut dikarenakan janji untuk memberikan kompensasi berupa modal usaha tidak tersampaikan sehingga mereka tetap menjalani hidup susah dan miskin. Data pada Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 837.000 orang atau 16,98% dari total masyarakat Aceh.

​Tingkat korupsi dan kemiskinan yang tinggi menandakan bahwa betapa buruknya perekonomian di Aceh saat itu. Adanya partai politik lokal di Aceh tidak mampu menampung semua aspirasi masyarakat. Hal tersebut juga disebabkan karena tidak semua masyarakat Aceh percaya akan partai politik lokal namun memilih percaya kepada partai-partai nasional yang berasaskan Islam seperti PKS dan PPP. Namun, elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan korupsi tersebut di berontak oleh salah salah satu mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bernama Din Minimi karena tidak menerima dana kompensasi.

Adanya transformasi politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari yang tadinya gerakan bersenjata menjadi partai politik lokal menjadi baik apabila diiringi dengan pendidikan politik yang mendukung perubahan tersebut. Perubahan pola perjuangan dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik berupa partai politik lokal tentunya diperlukan kesiapan baik dari internal organisasi tersebut maupun dari eksternal berupa dukungan dari lingkungan sekitar. Dukungan dari lingkungan sekitar tersebut bisa berupa perangkat kebijakan dan perundang-undangan yang menunjang pemerintahan di Aceh. Adanya korupsi di Aceh menyebabkan perlunya pemerintah pusat turun tangan dalam mengatasi hal tersebut karena apabila dibiarkan maka akan berdampak buruk terhadap masyarakat Aceh dimana pihak-pihak yang diharapkan dapat memimpin pemerintahan dengan baik ternyata melakukan korupsi dan menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di Aceh.
 
Sumber:
Andriyani, Santi. (2017). Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Transformasi Politik Gerakan Aceh Merdeka. Jurnal ISIP. Januari 2017.

Penulis: Dahlia (Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala)
Komentar

Tampilkan

Terkini