LINTAS ATJEH | ACEH SELATAN - Pemasangan plang larangan beraktivitas oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di kebun sawit milik warga Gampong Keude Trumon, Kecamatan Trumon, memicu kemarahan publik. Plang itu memuat larangan memasuki, merusak, menjarah, mencuri, menguasai, atau memperjualbelikan lahan tanpa izin pihak berwenang.
Satgas PKH dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, lahan yang dipasangi plang berada di dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil. Kepala BKSDA Aceh, Ujang Wisnu Barata, menegaskan bahwa pemasangan dilakukan sesuai prosedur setelah pengecekan peta dan koordinat.
Namun, bagi masyarakat Trumon, narasi “sesuai prosedur” tidak otomatis berarti adil. “Kami ingin bertanya prosedur untuk siapa? Untuk rakyat atau hanya untuk menjaga kewenangan? Jangan lupa, hukum harus berpihak kepada keadilan, bukan semata-mata kepada kekuasaan,” ujar seorang tokoh adat setempat kepada media, Selasa (12/08/2025).
Sejarah mencatat, Trumon adalah tanah kerajaan berdaulat yang berdiri kokoh sebelum Republik Indonesia lahir. Tanahnya diwariskan oleh para pejuang yang mengorbankan darah dan nyawa demi melawan penjajahan. “Tanah ini bukan hasil rampasan, bukan pula tanah kosong yang bebas diklaim. Masyarakat Trumon bukan keturunan pengemis. Kami tidak akan membiarkan marwah leluhur diinjak-injak atas nama aturan yang dibuat tanpa mendengar suara rakyat,” sambungnya.
Himpunan Mahasiswa Pemuda Pelajar Trumon (HMP2T) memandang tindakan Satgas PKH sebagai sinyal bahaya terhadap hak-hak rakyat. Ketua Umum HMP2T, T. Ridwansyah, mengingatkan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) untuk segera bertindak.
“Gubernur tidak boleh diam. Selesaikan persoalan ini secara tuntas. Klaim tanah warga di Trumon sebagai milik BKSDA adalah bentuk konflik baru yang dirancang untuk membuat rakyat menderita. Ini bukan sekadar soal sawit atau papan plang ini soal hak hidup dan keberlangsungan masyarakat,” tegasnya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Menurut Ridwansyah, kebijakan penertiban kawasan hutan sering kali dilakukan tanpa kajian sosial yang mendalam.
“Negara sering hadir dengan atribut hukum dan aparat, tapi lupa membawa keadilan. Jika benar ini kawasan konservasi, mengapa rakyat tidak diajak bicara sejak awal? Mengapa tidak ada musyawarah untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua pihak? Kami mahasiswa akan berdiri di garda depan untuk memastikan rakyat tidak dikorbankan oleh kebijakan yang buta terhadap penderitaan di lapangan,” lanjutnya.
Sekretaris Umum HMP2T, Fuaddatun Najmi, menegaskan bahwa lahan tersebut telah dikelola masyarakat secara turun-temurun.
“Tanah ini telah memberi makan keluarga kami selama puluhan tahun. Tiba-tiba datang plang larangan, seolah kami penjahat yang menjarah hutan. Padahal, kami yang selama ini menjaga dan merawatnya. Kami tidak menerima tanah moyang kami diambil alih tanpa musyawarah dan kesepakatan. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak adat, tapi juga pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi yang katanya menjunjung partisipasi rakyat,” ujarnya.
HMP2T mendesak agar Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan semua pihak terkait segera menggelar dialog terbuka. Mereka menegaskan bahwa rakyat Trumon tidak menolak upaya konservasi hutan, tetapi menolak segala bentuk kebijakan yang meminggirkan hak sejarah dan martabat masyarakat.
“Kami mahasiswa akan menjadi saksi sekaligus penggerak. Jika tanah leluhur diambil tanpa suara rakyat, maka kami akan turun ke jalan. Kami akan pastikan bahwa Trumon tidak menjadi halaman belakang tempat negara menguji kebijakan tanpa memikirkan manusia yang hidup di atasnya,” pungkas Ridwansyah.[*/Red]



