-->








Ini sepak terjang Adnan Buyung Nasution Semasa Hidupnya

23 September, 2015, 12.32 WIB Last Updated 2015-09-23T05:33:06Z
IST
JAKARTA - Pengacara kondang Adnan Buyung Nasution meninggal dunia di usia ke-81 setelah sempat dirawat akibat mengalami gangguan pada jantung. Jenazah saat ini masih berada di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

"Meninggal pukul 10.15 WIB," kata Ketua Badan Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Alvon Kurnia Palma kepada merdeka.com, Rabu (23/9).

Sebelum menutup usianya, Adnan dikenal sebagai pengacara sukses. Tidak sedikit orang-orang yang dibelanya lepas dari jeratan hukum, bahkan dia juga pernah menangani para politikus dan pejabat yang tersandung masalah.

Seperti apa sepak terjangnya?

Buyung dilahirkan di Jakarta pada 20 Juli 1934 lalu. Selain aktif di dunia hukum, dia juga pernah menjadi anggota DPR/MPR saat Soeharto didaulat menjadi Presiden Kedua RI.

Buyung dikenal sebagai sosok yang tangguh. Ketika Buyung berusia 12 tahun, Buyung hidup sendiri dengan adik semata wayangnya, Samsi Nasution, berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu pula, ibu Buyung yang bernama Ramlah Dougur berjualan es cendol. Sementara ayahnya, Rachmat Nasution, bergerilya melawan Belanda.

Sang ayah memberikan banyak pengaruh pada Buyung kecil. Selain seorang pejuang gerilya dan reformasi, Rachmat juga merupakan pendiri kantor berita Antara dan harian Kedaulatan Rakyat. Dia juga merintis The Time of Indonesia. Hal itu mendorong Buyung bergabung bersama Mobilisasi pelajar (mopel) dan pernah berdemonstrasi melawan pendirian sekolah NICA di Yogyakarta. Sejak itu, dia mulai aktif di berbagai organisasi.

Selepas SMA, Buyung mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Selang setahun, Buyung memilih pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada, namun itu tak berlangsung lama sebelum akhirnya berlabuh ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia.

Setelah lulus kuliah, Buyung tetap melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Di tengah kesibukannya, Buyung tetap aktif dalam kegiatan politik, dia pernah mendirikan Gerakan Pelaksana Ampera. Bahkan, dia pernah mendapatkan skorsing akibat aksinya yang menentang pemerintah dalam peristiwa Gestapu.

Kejadian itu membuatnya dimutasi ke Manado, kemudian dipindah ke Medan. Mendapat perlakuan itu, Buyung memilih hengkang dan menganggur selama setahun.

Kemudian, Buyung memutuskan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan membuka kantor pengacara (advokat). Kedua lembaga tersebut berjalan dengan baik dan terus berkembang. Hingga akhirnya dia mengembangkan LBH Jakarta dengan menambah kata yayasan di bagian depan dan Indonesia di belakang.

Gagasan untuk mendirikan LBH tersebut merupakan refleksi ketika Buyung menjalankan persidangan. Buyung melihat para terdakwa selalu pasrah menerima dakwaan, dan mereka butuh pembela. Namun, ide tersebut baru dapat dia realisasikan setelah dia melanjutkan belajar hukum di Universitas Melbourne.

Tidak berapa lama kemudian, Buyung mendapatkan persetujuan dan dukungan dari pemerintah. Selain presiden, Buyung juga mendapatkan suara dari Ali Sadikin Gubernur Jakarta saat itu. Sehingga, pada 28 Oktober 1970, lahirlah LBH yang diketuai oleh Buyung sendiri. Pada pembukaan LBH tersebut, Buyung mendapatkan 10 skuter dari pemerintah. 

LBH banyak membantu orang-orang kecil mendapat bantuan hukum. Mereka yang selama ini tak mendapat bantuan dari pengacara, merasa sangat terbantu dengan pengacara dari LBH ini.

Adnan Buyung dikenal kritis. Dia aktif mengkritik Soekarno, lalu tetap idealis zaman Soeharto. Begitu juga saat Presiden SBY. Buyung mengundurkan diri sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden karena menganggap Presiden SBY tak mendengarkan sarannya.[merdeka]
Komentar

Tampilkan

Terkini